Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Uang Ketok Palu dan "Pokir"

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Para politikus yang di dalam dirinya sudah tumbuh gelagat atau benih-benih korup, selalu mencari cara untuk maling anggaran negara. Salah satu yang belakangan "populer" antara lain uang pokok pikiran (pokir) ala legislator. Istilah ini sebagai "strategi" lain para anggota legislatif untuk korupsi uang anggaran, di luar pilihan kata yang lebih dulu populer seperti uang ketok palu.

Memang pembahasan menjadi ladang empuk yang terus dimainkan para legislator sebagai sumber korupsi. Praktik menggiring anggaran telah melahirkan narapidana kelas kelas kakap seperti mantan Ketua DPR dan banyak anggoda dewan. Modusnya, para anggota dewan akan menggiring sampai sebuah anggaran provinsi, kabupaten, kota, atau lembaga/kementerian disetujui dalam pembahasan di DPR/DPRD. Sebagai imbalan, anggota dewan minta persenan. Modus ini sangat umum.

Dewan masih punya banyak strategi untuk mengambil uang rakyat, di antaranya uang ketok palu dan uang pokir tadi. Menurut Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif, pembahasan anggaran di DPR selalu ada anggaran pokok untuk pemikiran wakil rakyat (pokir). DPR ini aneh, berpikir kok minta dibiayai. Apakah selama ini tidak pernah berpikir. Lalu, apakah para pejabat lain di lembaga/kementerian juga harus dibayar di luar gaji karena mereka juga berpikir. Uang pokir benar-benar lucu dan menggelikan. Sudah semestinya, orang bekerja itu berpikir. Masa berpikir harus dibayar di luar gaji. Nanti semua gerak DPR minta dibayar seperti perjalanan dari rumah ke gedung DPR. Kemudian, menerima tamu atau menemui demonstran, juga minta dibayar. Sedikit bergerak minta dibayar. Jangan-jangan (maaf istilah) ke rest room pun nanti minta dibayar.

Uang pokir hanyalah akal-akalan untuk mengambil uang rakyat. Tak ada habis-habisnya cara DPR/DPRD mengakali anggaran.

Kemudian, para anggota DPR juga masih mempunyai senjata untuk mengambil uang rakyat dengan memaksa minta uang ketok palu saat pengambilan keputusan. Kasus ini cukup banyak ditangani KPK. Jika tidak ada uang pokir atau pun ketok palu, kemungkinan besar anggaran yang diajukan, akan ditolak.

Sikap tidak mau ngetok palu kalau tidak ada uang, telah mempersulit gubernur, bupati, wali kota, menteri, atau ketua lembaga. Sebab kalau mengikuti langkah, DPR dengan memberi uang ketok palu, mereka masuk kategori menyuap. Kalau tidak memberi uang, anggaran tak diketok. Jadi cukup dilematis bagi mereka.

Cara-cara seperti ini menjadi keprihatinan di Hari Antikorupsi Sedunia yang jatuh Minggu (9/12). Berbagai upaya yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seakan tidak berarti apa-apa. Banyak penangkapan koruptor, tetapi selalu saja ada lagi dan lagi koruptor tertangkap. Hal ini memperlihatkan tidak ada jera. Penangkapan oleh KPK tidak membuat jera para calon koruptor.

Bahkan, taktik dan strategi korup juga dikembangkan para pelaku. Mereka dengan berbagai cara untuk mengakali uang rakyat demi pundi-pundi sendiri. DPR masih saja menjadi contoh buruk dengan terus saja ada anggotanya yang ditangkap secara langsung (OTT) oleh KPK. Sepanjang Januari sampai Mei 2018 saja sudah 61 anggota DPR dan DPRD menjadi tersangka kasus korupsi. Tahun 2016 malah mencapai 115 anggota dewan ditangkap KPK.

DPR belum bisa memperlihatkan sebagai lembaga tepercaya. Mereka masih terus memberi contoh buruk. Ini harus menjadi keprihatinkan partai politik karena mereka adalah produk partai. Parpol yang melahirkan banyak anggota dewan korup berarti telah gagal dan sebaiknya dihindari dalam pemilihan tahun depan. Pemilu serentak tahun depan harus menjadi kunci penghentian korupsi di dewan dengan cara memilih wakil-wakil yang jujur dan berintegritas. Dengan kata lain, calon legislator yang terindikasi berbau korup apalagi mantan koruptor, sebaiknya jangan dipilih.

Komentar

Komentar
()

Top