Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengembangan Industri I Menyebabkan Daya Saing Produk Keramik Melemah

Turunkan Harga Gas Industri

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Tingginya harga gas untuk industri keramik di Indonesia membuat produk keramik tidak kompetitif.

JAKARTA - Kementerian Perindustrian akan melakukan koordinasi terkait masih mahalnya harga gas untuk industri keramik di Tanah Air agar produk keramik nasional mampu bersaing. Struktur biaya energi yang tinggi membuat pelaku industri manufaktur pada umumnya sulit untuk menembus pasar ekspor.

Terkait hal tersebut, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan terus berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait untuk mengupayakan biaya energi yang kompetitif bagi pelaku industri keramik, baik itu harga gas maupun tarif listrik. "Langkah strategis ini guna memacu produktivitas dan daya saing sektor manufaktur," ungkap Sekretaris Jenderal Kemenperin, Haris Munandar, di Jakarta, Senin (15/7).

Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) mengeluhkan masih tingginya harga gas. Berdasarkan data ASAKI, saat ini harga gas untuk industri keramik di Jawa bagian barat 9,16 dollar AS per Millions Metric British Thermal Unit (MMBTU). Lalu, di Jawa bagian timur 7,98 dollar AS per MMBTU dan Sumatera sebesar 9,3-10 dollar AS per MMBTU. Apabila membandingkan di negara tetangga seperti Malaysia, harga gas industri sekitar 7,85-8 dollar AS per MMBTU, sedangkan Thailand 8,8 dollar AS per MMBTU.

Haris Munandar mengakui struktur biaya energi berkaitan dengan banyak komponen, di antaranya biaya pokok, biaya transportasi, penerimaan negara bukan pajak, biaya investasi, margin, dan biaya operasional. Dalam hal ini, apabila pasokan bahan baku dan energi terjamin, aktivitas industri manufaktur akan semakin menggeliat.

Menurut Haris, sektor manufaktur sangat penting mengingat selama ini sektor industri ini konsisten memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Multiplier effect dari industrialisasi meliputi peningkatan penyerapan tenaga kerja serta penerimaan devisa dari investasi dan ekspor.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan, industri pengolahan masih menjadi penyumbang signifikan terhadap struktur Produk Domestik Bruto (PDB) nasional hingga 20,07 persen pada triwulan I tahun 2019. Pencapaian ini naik dibanding capaian sepanjang tahun 2018 sebesar 19,86 persen.

Masih Kompetitif

Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membantah apabila harga gas industri nasional masih tinggi. Apalagi pemerintah telah menerbitkan PP No 40/ 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi dan produk hukum turunannya. Menurut Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi, harga gas industri relatif stabil dan kompetitif dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

"Kalau kita lihat lebih detail perbandingan dari titik referensi yang sama, harga hulu di Indonesia sebesar 5,3 dollar AS per MMBTU, ini terbilang kompetitif," ungkapnya.

Agung Pribadi menuturkan, rendahnya harga gas di Malaysia ditopang dari struktur biaya pembentukan gas yang menerapkan Regulation Bellow Cost (RBC). Sistem RBC menuntut adanya penerapan subsidi sehingga membuat harga gas di Malaysia lebih murah. Di Thailand dan Tiongkok menjalankan model indeksasi ke harga minyak. Jika harga minyak naik, maka harga gas akan naik.

Menurut Agung, pemerintah menerapkan skema Regulation Cost of Services (RCS), penetapan harga gas berdasarkan keekonomian di setiap mata rantai. "Skema ini cocok diterapkan di Indonesia karena tidak mengikuti harga minyak dan tidak menimbulkan volatilitas. Ini yang membuat harga gas di Indonesia cukup stabil," tegasnya. ers/E-12

Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top