Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Ekonomi - Butuh Kewenangan Ekstra Atasi Tumpang-Tindih Aturan

Tumpang-Tindih Regulasi Hambat Kemudahan Usaha

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Paket Kebijakan Ekonomi XVI yang berisi percepatan kemudahan berusaha dinilai tidak akan efektif karena hanya mengulang paket-paket sejenis sebelumnya yang juga mandul dalam implementasinya.


"Masalahnya di implementasi. Misalnya, di paket III soal listrik untuk industri, dan fasilitas lain di paket XI nggak terealisasi," kata Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati, di Jakarta, Minggu (3/9).


Menurut Enny, untuk mengimplementasikan berbagai paket kebijakan tersebut masih banyak kendala yang ditemui, terutama tumpang tindih payung hukum. Ia lantas mencontohkan soal perizinan.

"Perizinan itu ada yang di pusat dan di daerah. Walaupun dibuat paket kebijakan belum banyak perubahan juga," kata dia.


Apalagi, lanjut Enny, bila menyangkut urusan daerah. Hal itu tidak hanya menyangkut kepala daerah, tetapi juga Kementerian Dalam Negeri. Bahkan, lintas kementerian seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan apabila menyangkut soal tata ruang dan berkaitan dengan isu-isu lingkungan.


"Apakah mau membatalkan perda? Nanti kalau dibatalkan yang berlaku yang mana? Ini justru akan menimbulkan kekosongan hukum," tukas dia.


Enny juga menilai pembentukan satuan tugas (Satgas) perizinan terintegrasi tidak akan banyak berpengaruh. Sebab, satgas hanya akan menjalankan fungsi penegakan hukum dan pengawasan, tapi untuk menyelesaikan tumpang-tindih regulasi butuh kewenangan ekstra.


Seperti dikabarkan, Presiden Joko Widodo pekan lalu meluncurkan Paket Kebijakan XVI yang mencakup mengenai upaya percepatan penerbitan perizinan usaha dari tingkat pusat hingga daerah.

Jokowi mengungkapkan paket kebijakan itu dikeluarkan berupa Peraturan Presiden (Perpres) mengenai percepatan kemudahan berusaha. Aturan ini bertujuan untuk memberikan kemudahan berusaha dari tahap pertama hingga akhir.


Landasan paket kebijakan tersebut karena pemerintah menilai pertumbuhan investasi di Indonesia masih rendah, yakni sebesar 1,97 persen dari rata-rata per tahun (2012-2016).


Selain itu, capaian target rasio investasi sebesar 32,7 persen (2012-2016) di bawah target RPJMN sebesar 38,9 persen pada 2019.


Menurut Enny, yang diperlukan saat ini adalah satu mekanisme yang jelas, misalnya, ketika terjadi kendala regulasi yang tumpang-tindih. "Ini akan diselesaikan oleh siapa. Jangan sampai, nantinya yang terjadi justru saling menyalahkan lantaran masing-masing kementerian/lembaga hanya berpatokan undang-undang yang memayungi mereka."


Oleh karena itu, lanjut dia, seharusnya pemerintah juga menunjuk satu kementerian atau pejabat yang mempunyai wewenang lebih untuk mengeksekusi tumpang-tindih regulasi sehingga fungsi kementerian tersebut tidak sekadar koordinatif.


Sisi Lemah


Sementara itu, pakar administrasi publik UGM Yogyakarta, Agus Pramusinto, mengungkapkan ada dua sisi lemah reformasi perizinan di Indonesia, yakni hubungan antarlembaga baik antarkementerian maupun antara pemerintah pusat dan daerah.

Kemudian, kualitas birokrat yang sulit diubah karena aturan mengenai Aparatur Sipil Negara (ASN) sulit memberlakukan logika kinerja murni seperti perusahaan swasta.


Agus mengatakan hubungan antarlembaga terutama antara pusat dan daerah, ada dua pendapat hukum yang sama kuat. Pertama, perubahan izin di daerah karena itu adalah sebuah peraturan daerah (perda) maka harus melalui mekanisme di DPRD.

Kedua, perda peraturan perizinan bisa saja diubah oleh pemerintah pusat karena kewenangan pusat yang diberikan kepada daerah hanya kewenangan eksekutif sehingga kalau itu bertentangan dengan tujuan atau aturan pusat harus diubah.


Terkait percepatan pelayanan perizinan, Agus mengingatkan pemerintah harus proposional. Artinya, kalau dalam suatu bidang perizinan negara hanya berperan sebagai fasilitator, tidak ada alasan untuk tidak dipercepat.


Akan tetapi, lanjut dia, jika di bidang yang negara memiliki peran kontrol karena urusan bisnis tersebut memengaruhi kualitas lingkungan, seperti perkebunan, pabrik dengan limbah berbahaya, dan sebagainya negara mesti sangat hati-hati.


Artinya, menurut Agus, aturan mesti dibuat sangat jelas dan mudah dimengerti oleh pelaku bisnis maupun masyarakat luas, sebab dalam perizinan tertentu sangat diperlukan izin dari dari masyarakat setempat.


Agus menambahkan sisi lemah kedua, mengenai kualitas birokrat selama ini menjadi yang paling pelik untuk dicari solusinya. Di Indonesia, sistem ketenagakerjaan pemerintah menganut hukum ASN yang sangat berbeda dengan di negara-negara maju.

Di sini sekali masuk menjadi PNS, selamanya dia akan menjadi PNS sampai dia meninggal. Hal itu menyulitkan negara untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja birokrat. ahm/YK/WP

Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top