Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Konflik Timur Tengah I Pertambangan Logam Sumbang 10 Persen Pendapatan Nasional Iran

Trump Jatuhkan Sanksi Baru

Foto : AFP/Mandel NGAN

Donald Trump

A   A   A   Pengaturan Font

Presiden AS terus mengeluarkan tekanan pada Tehran terkait program nuklir Iran. Kali ini Presiden Trump menerapkan sanksi terhadap ekspor sektor industri pertambangan logam Iran.

WASHINGTON DC - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, pada Rabu (8/5) menjatuhkan sanksi terbaru terhadap Tehran yang menyasar ekspor sektor industri pertambangan logam utama di Iran. Selain minyak, industri baja, aluminium, tembaga, dan besi, merupakan pendapatan mata uang asing paling utama dan sanksi AS itu bisa memperparah kelumpuhan perekonomian Iran. Ekspor sektor pertambangan logam menyumbang sekitar 10 persen dari pendapatan ekonomi nasional Iran.

"Tindakan hari ini menargetkan pendapatan Iran dari ekspor logam industri dan membuat negara-negara lain memperhatikan bahwa mengizinkan baja dan logam lain Iran ke pelabuhan Anda tidak akan lagi ditoleransi," kata Trump dalam sebuah pernyataan. "Tehran dapat mengharapkan tindakan lebih lanjut kecuali secara fundamental mengubah perilakunya," imbuh Presiden AS itu.

Sebelumnya, Presiden Trump dalam peringatan setahun AS keluar dari perjanjian nuklir Iran 2015, mengatakan telah terjadi peningkatan ketegangan di kawasan Timur Tengah sehingga AS mengerahkan kapal induk dan pesawat bomber berkemampuan nuklir ke wilayah tersebut, setelah ia menuduh Iran akan segera melakukan serangan tak terduga.

Pada Selasa (7/5), Iran mengatakan akan segera berhenti menerapkan beberapa pembatasan berdasarkan perjanjian nuklir 2015, dengan tujuan agar bisa menekan sekutu-sekutu AS di Eropa dan negara kekuatan dunia yang terlibat dalam perjanjian nuklir 2015, untuk menyelamatkan perjanjian.

Tehran mengatakan akan meninggalkan lebih banyak komitmen lagi jika pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian nuklir 2015 seperti Inggris, Tiongkok, Prancis, Jerman, dan Rusia, gagal untuk mulai memenuhi komitmen mereka untuk memberikan bantuan sanksi dalam waktu 60 hari.

Presiden Hassan Rouhani mengatakan, ultimatum itu dimaksudkan untuk menyelamatkan kesepakatan nuklir dari Trump, yang sanksi-sanksinya telah menyebabkan penderitaan besar di Iran.

"Kami merasa (perjanjian) membutuhkan perubahan setelah setahun tak bergejolak dan belum memberikan hasil apa pun. Perubahan ini dimaksudkan untuk menyelamatkan (perjanjian), bukan menghancurkannya," kata Presiden Rouhani dalam pertemuan kabinet yang disiarkan langsung di televisi pemerintah.

Harapan PBB

Menyikapi memanasnya hubungan AS-Iran, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, berharap kesepakatan nuklir Iran dapat diselamatkan.

"Sekretaris Jenderal terus kembali menyatakan bahwa perjanjian nuklir Iran 2015 merupakan prestasi besar dalam antipenyebaran nuklir dan diplomasi dan telah memberi sumbangan bagi ekamanan serta perdamaian regional dan internasional," kata Farhan Haq, juru bicara Sekjen PBB dalam satu taklimat, pada Rabu (8/5). "(Guterres) sangat berharap bahwa perjanjian itu dapat dipelihara," imbuh Haq.

Perjanjian nuklir Iran 2015 disepakati antara Iran kelompok negara P5+1 (lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB ditambah Jerman) yang isinya memberlakukan pengekangan ketat atas program nuklir Iran sebagai imbalan bagi pencabutan sanksi AS yang terdahulu.

Tahun lalu, Presiden Trump menyatakan AS keluar dari kesepakatan nuklir itu, dan menjatuhkan kembali sanksi ekonomi atas sektor energi dan perbankan Iran. Washington DC juga mengakhiri keringanan sanksi buat negara yang membeli minyak Iran. ang/Ant/AFP/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Antara, AFP

Komentar

Komentar
()

Top