Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Perjanjian Internasional

Trump Bidik Kesepakatan Akbar Nuklir

Foto : AFP/MANDEL NGAN
A   A   A   Pengaturan Font

WASHINGTON DC - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menginginkan kebijakan luar negeri baru yang bisa mengikutsertakan Russia dan Tiongkok dalam sebuah kesepakatan akbar nuklir. Ambisi ini diharapkan bisa menjadi pencapai prestasi bagi Trump saat ia menjabat sebagai Presiden AS.

Agenda Trump ini mengisyaratkan kesiapan AS bagi memulai lagi kesepakatan pengekangan senjata nuklir baru secara multilateral.

"Mungkin kita bisa menegosiasikan perjanjian yang berbeda, menambahkan Tiongkok dan lainnya, atau mungkin kita tidak bisa," kata Trump saat membacakan pidato kenegaraan tahunan pada Januari lalu. "Dalam hal ini, kita akan mengakhiri dan membuat terobosan baru," imbuh dia.

Menyikapi keinginan itu, pihak Gedung Putih dilaporkan sedang melakukan pembicaraan antar instansi untuk mewujudkan keinginan Presiden AS untuk membuat kesepakatan baru seperti Traktat Pengurangan Persenjataan Strategis (Strategic Arms Reduction Treaty/START) yang akan habis masa berlakukanya pada 2021.

"Presiden telah menjelaskan bahwa ia menginginkan kesepakatan pengendali senjata harus melibatkan Russia dan Tiongkok, serta harus mencakup semua senjata, semua hulu ledak, semua misil. Kami ingin memberikan opsi-opsi kepada presiden secepat mungkin hingga ia memiliki banyak waktu dalam agenda politiknya," kata seorang pejabat senior di Gedung Putih.

Presiden Trump sebelumnya mengatakan bahwa kesepakatan START di masa lalu sebagai sebuah kesepakatan yang buruk, lalu ia menunjuk seorang penasihat keamanan nasional yang baru, John Bolton, untuk membantu pemerintahan AS agar bisa keluar dari kesepakatan nuklir yang lama yang telah ketinggalan jaman.

Langkah Trump untuk keluar dari kesepakatan persenjataan nuklir sebelumnya telah memicu kekhawatiran bahwa hal itu bisa memicu perlombaan senjata nuklir yang baru. Kekhawatiran itu disuarakan direktur kebijakan senior di Center for Arms Control and Non-Proliferation, Alexandra Bell. "Alasan untuk mengikutsertakan Tiongkok diambil AS karena negara ini memang tak berniat memperpanjang START," kata Bell.
Ditambahkan oleh Bell, setelah kesepakatan nuklir tak berlaku, maka dua negara kekuatan nuklir terbesar di dunia itu mungkin akan meniadakan batasan persenjataan nuklir mereka untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade.

Tantangan Pembaruan

Sementara itu Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, membela langkah Trump dan menyebut perjanjian senjata nuklir sebelumnya memiliki kekurangan.

"Kita harus bisa memastikan bahwa seluruh pihak yang berkepentingan untuk jadi bagian (dalam kesepakatan yang baru), seperti negara-negara lain di luar Russia dan Tiongkok," kata Menlu Pompeo.

Dalam beberapa dekade terakhir memang semakin banyak negara yang menguasai teknologi persenjataan nuklir seperti India, Pakistan, Korea Utara (Korut), dan Iran. Saat ini krisis di Semenanjung Korea menjadi sorotan internasional setelah Korut melakukan serangkaian uji coba ledakan nuklir dan peluncuran misil balistik antarbenua sehingga uji coba itu telah mengancam stabilitas dan keamanan di kawasan Asia.

Kekhawatiran lainnya yaitu telah terjadinya perlombaan pengembangan persenjataan strategis seperti yang telah dilakukan Russia dan Tiongkok, saat kedua negara ini mengklaim telah berhasil membuat sistem persenjataan dengan kecepatan hipersonik yang bisa mengelak dari cegatan persenjataan misil penangkis.

Kedua negara itu mengatakan pengembangan persenjataan dengan kecepatan luar biasa itu tak melanggar kesepakatan nuklir yang masih berlaku karena dikembangkan dari sisi diluar aspek kekuatan nuklir. ang/CNN/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat

Komentar

Komentar
()

Top