Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Terobosan Medis

Transplantasi Uterus, Usaha Perempuan Dapatkan Anak Biologis yang Semakin Populer

Foto : afp/ Hospital das Clinicas da FMUSP
A   A   A   Pengaturan Font

Memiliki anak biologis menjadi harapan orang-orang di seluruh dunia. Sejak dilakukan pertama kalinya satu dekade lalu, kini lebih dari 100 perempuan di dunia telah menerima transplantasi uterus.

Bagi orang-orang yang memiliki kelainan rahim (uterus) yang serius misalnya kondisi yang menyebabkan rahim tidak ada saat lahir atau rahimnya rusak atau diangkat, satu-satunya pilihan untuk memiliki anak selama ini terbatas pada ibu pengganti gestasional yang ilegal di banyak negara atau adopsi.

Namun, kemajuan terkini telah memungkinkan transplantasi rahim dari donor yang masih hidup atau yang sudah meninggal. Dari berbagai kasus transplantasi dan rahim tersebut, dapat menciptakan kehamilan yang layak.

Sejak transplantasi rahim manusia pertama yang berhasil lebih dari satu dekade lalu, lebih dari 100 transplantasi telah dilakukan di seluruh dunia. Sekitar setengahnya dapat menghasilkan kelahiran bayi hidup.

Diakui oleh para ahli prosedur ini masih eksperimental dan mengandung risiko bagi donor dan penerima. Semakin hari, cara ini menawarkan harapan untuk memiliki anak biologis bagi orang-orang di seluruh dunia. Namun para peneliti mengatakan masih ada jalan panjang yang harus ditempuh sebelum transplantasi ini tersedia bagi semua orang yang mungkin menginginkannya.

Tercatat sekitar satu dari 500 perempuan usia produktif memiliki beberapa bentuk infertilitas terkait rahim. Sekitar satu dari 4.000 hingga 5.000 orang yang dianggap perempuan saat lahir, tanpa rahim sama sekali. Yang lainnya lahir dengan kelainan rahim atau mengalami kerusakan saat melahirkan atau akibat kanker rahim. Beruntungnya banyak dari orang-orang ini masih memiliki ovarium dan sel telur yang berfungsi.

Pada tahun 2003, para peneliti melakukan transplantasi rahim yang berhasil pada tikus yang menghasilkan kelahiran hidup. Transplantasi kemudian beralih ke hewan yang lebih besar, termasuk domba, babi, dan primata nonmanusia.

Transplantasi rahim manusia pertama dalam sejarah modern, yang dilakukan pada tahun 2000 di Arab Saudi dengan donor hidup, tidak berhasil. Pada tahun 2011, ahli bedah di Turki mentransplantasikan rahim dari donor yang sudah meninggal, tetapi tidak menghasilkan kehamilan atau kelahiran hidup yang berhasil sampai sembilan tahun kemudian.

Dari tahun 2012 hingga 2013, sebuah tim di Universitas Gothenburg di Swedia melakukan sembilan transplantasi dengan rahim dari donor hidup yang sebagian besar dari mereka adalah ibu atau kerabat lain dari penerima. Pada tahun 2014, anak pertama lahir dari salah satu prosedur ini dan bayi itu baru saja berusia 10 tahun dan dalam kondisi baik.

"Ketika kami melakukan uji coba dengan sembilan orang, saya berharap dua atau tiga orang akan punya bayi. Sekarang, enam orang hamil dan melahirkan, totalnya jadi sembilan bayi," kata Mats Brännström, seorang profesor kebidanan dan ginekologi di Akademi Sahlgrenska, Universitas Gothenburg, yang memimpin studi awal transplantasi rahim pada hewan dan uji coba manusia pertama di Swedia. "Jadi, tingkat keberhasilan uji coba itu jauh lebih besar dari yang saya perkirakan," imbuh dia.

Sejak itu, lebih banyak transplantasi semacam itu telah dilakukan di berbagai pusat klinis di seluruh dunia.

Para peneliti di Baylor University Medical Center di Texas baru-baru ini menerbitkan sebuah studi di JAMA yang mengevaluasi 20 pasien yang menerima transplantasi rahim. Mereka semuanya berusia antara 20 dan 40 tahun yang mengalami infertilitas rahim, namun masih memiliki setidaknya satu ovarium yang berfungsi. Delapan belas donor masih hidup dan dua telah meninggal. Dari 17 donor hidup tidak mengenal penerima tetapi memilih untuk menyumbangkan rahim mereka, dan semua donor telah melalui kehamilan sebelumnya. Dari 20 orang yang menerima transplantasi, 14 menjalani operasi yang berhasil dan ke-14 orang tersebut kemudian berhasil hamil dan melahirkan.

"Ketika kami memulai (penelitian Baylor) pada tahun 2016, saat itulah kami melakukan operasi pertama dan kami memang berjuang di awal," kata rekan penulis studi JAMA, Liza Johannesson, Direktur Medis Transplantasi Rahim di Baylor University Medical Center.

"Beberapa operasi transplantasi pertama di sana gagal dalam waktu sepekan," tutur Johannesson yang juga merupakan bagian dari tim di Swedia yang melakukan transplantasi pertama yang berhasil pada hewan. "Pada 10 pasien pertama yang kami (lakukan transplantasi di Baylor), kami mengalami lima kegagalan, jadi tingkat keberhasilannya 50 persen. Dan pada 10 pasien berikutnya, kami sebenarnya hanya mengalami satu kegagalan. Jadi, itu 90 persen. Jadi, Anda dapat melihat bahwa ada kurva pembelajaran yang curam saat Anda memulai sebuah program," imbuh dia.

Risiko

Proses transplantasi melibatkan dua operasi. Pertama histerektomi untuk mengangkat rahim dan pembuluh darah dari donor. Kedua operasi untuk menanamkan rahim ke perempuan penerima. Pada operasi terakhir, pembuluh darah donor dihubungkan ke pembuluh darah penerima, namun tuba falopi penerima tidak terhubung ke rahim.

Penerima harus menjalani fertilisasi in vitro (IVF) untuk menghasilkan embrio yang layak. Beberapa sel telur diambil dari ovarium penerima, kemudian dibuahi di luar tubuh dengan sperma dari pasangan atau donor sperma dan ditumbuhkan selama beberapa hari di cawan laboratorium.

Beberapa bulan setelah transplantasi, embrio dapat dipindahkan ke rahim penerima. Jika terjadi kehamilan dan berlanjut hingga cukup bulan, bayi yang dilahirkan dari rahim donor ini dilahirkan melalui operasi caesar.

Prosedur transplantasi ini tidak bebas risiko bagi penerima maupun pendonor hidup. Ada risiko pembedahan yang umum terjadi seperti infeksi, pendarahan, atau pembekuan darah. Penerima menghadapi risiko tambahan dari obat imunosupresan yang harus mereka konsumsi untuk mencegah sistem kekebalan tubuh menolak organ asing.

Obat-obatan ini dapat membuat orang lebih rentan terhadap infeksi atau kanker dan dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Karena bahaya jangka panjang ini, rahim yang ditransplantasikan diangkat melalui pembedahan setelah satu atau dua kehamilan.

Bagi pendonor, ini adalah pembedahan perut yang cukup besar. Meskipun tidak ada komplikasi permanen, beberapa pendonor mengalami kerusakan pada kandung kemih atau ureter mereka.

Beberapa pusat transplantasi seperti yang ada di Swedia, telah mencari pendonor yang merupakan kerabat penerima, sering kali ibu orang tersebut, karena kerabat mungkin memiliki toleransi risiko yang lebih tinggi untuk mendonor daripada orang asing.

Pendonor yang telah meninggal menawarkan alternatif, tetapi ada beberapa hal yang harus dikorbankan. Penerima harus menunggu hingga pendonor dengan jenis darah atau jaringan yang cocok tersedia, dan pembedahan harus segera dilakukan, sehingga tidak dapat dijadwalkan sebelumnya.

Selain itu, organ dari donor yang sudah meninggal mungkin mengalami kerusakan saat aliran darah terputus akibat kematian orang tersebut, dan transplantasi yang melibatkan mereka mungkin memiliki tingkat keberhasilan yang sedikit lebih rendah daripada organ dari donor yang masih hidup.

Tidak ada bukti bahwa operasi transplantasi atau pengobatan telah memengaruhi perkembangan janin, dan anak-anak yang lahir dari rahim yang ditransplantasikan sejauh ini belum terbukti memiliki masalah kesehatan yang terkait dengan transplantasi, meskipun diperlukan studi tindak lanjut yang lebih lama.

"Transplantasi rahim menawarkan lebih dari sekadar harapan untuk hamil. Banyak orang ingin mengalami kehamilan dan menstruasi secara fisik," kata Dani Ejzenberg, pengawas medis unit reproduksi manusia di Rumah Sakit Klinis Universitas São Paulo, yang memimpin transplantasi rahim pada donor yang sudah meninggal yang menghasilkan kelahiran hidup pertama.

Sayangnya transplantasi rahim seperti banyak jenis transplantasi lainnya, sangat mahal dan masih di luar jangkauan finansial bagi banyak orang.

"Tujuan terbesarnya adalah untuk membuat ini dapat diakses oleh banyak perempuan di luar sana karena saat ini hanya populasi tertentu yang memiliki akses ke operasi ini," kata Johannesson. "Saya ingin setiap perempuan yang datang misalnya gadis remaja datang ke dokter kandungan dan mereka mengetahui bahwa ia lahir tanpa rahim, memiliki pilihan jika ia ingin menempuh prosedur ini," ungkap dia. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top