Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Mapeed Bali

Tradisi Syukuran yang Beda Pelaksanaan Sama Tujuan

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Mapeed adalah tradisi seperti parade yang diikuti para perempuan Bali yang mengusung Gebogan yaitu rangkaian buah dan aneka jajanan tradisional Bali yang dihiasi aneka janur setinggi kurang lebih 1 meter yang dibawa dengan berjalan kaki dari Banjar menuju Pura Kahyangan Desa.

Upacara Mapeed merupakan upacara persembahan untuk Tuhan masyarakat Hindu Bali, Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Upacara Mapeed merupakan salah satu rangkaian kegiatan upacara di pura yang bertujuan sebagai ungkapan rasa terima kasih umat Hindu Bali kepada Sang Hyang Widhi Wasa dengan menghanturkan persembahan.

Acara iring-iringan dimulai jam 3 sore, masyarakat desa memenuhi jalan untuk mengikuti upacara ini. Yang menarik bukan cuma perempuan dewasa yang ikut parade tersebut, tetapi anak-anak juga ikut dalam barisan. Iring-iringan perempuan Bali yang membawa persembahan berupa buah-buahan dijunjung di atas kepala, berbaris dengan memakai kebaya dan berkain sarung serta ikat pinggang khas Bali.

Memang cantik dan penuh disiplin. Dikawal para lelaki yang berkeris di pinggang, berbaju putih, berkain putih, dan berdestar putih. Istilah Mapeed bermakna berjalan beriringan, karena warga tidak boleh datang perorangan. Adapun prosesi Mapeed dibagi dua gelombang yaitu tempek kauh, yakni warga yang bermukim di barat desa, dan tempek kanginan, warga di timur desa.

Jika ada sesajen yang dipersembahkan dalam keadaan kotor atau ada yang patah, akan dikembalikan ke warga yang membawa, karena dinilai tidak ikhlas dalam melakukan persembahan, tidak sampai di situ ada sanksi adat berupa denda dengan menyerahkan uang kepeng sebanyak 1.800 buah.

Gebogan sendiri adalah rangkaian buah dan aneka jajanan tradisional Bali yang dihiasi daun janur dan disusun sedemikian rupa di atas tempat yang disebut Dulang.

Upacara Mapeed hanya dilakukan pada hari-hari tertentu, seperti saat ada piodalan. Jika Anda beruntung dan datang tepat 10 hari setelah Hari Raya Kuningan, tradisi Mapeed bisa menjadi momen terindah liburan Anda. Jika benar-benar ingin melihat tradisi ini, lebih baik cari tahu tentang hari pelaksanaannya, karena setiap daerah di Bali memiliki waktu berbeda ketika melakukan upacara Mapeed ini. Bahkan cara mereka melaksanakan tradisi ini juga berbeda di setiap daerahnya. Meskipun begitu, tujuan dan maksud yang disertakan dalam upacara ini sama, yaitu bersyukur atas kesejahteraan dan keselamatan yang diberikan Tuhan. pur/R-1

Pertahankan Pakem Busana Sukawati

Ratusan warga mengikuti tradisi Mapeed yang digelar serangkaian pujawali di Pura Dalem Gede Sukawati pada Anggara Kliwon Wuku Tambir. Selain merupakan prosesi sakral, tradisi yang menghiasi setiap pujawali Pura Kahyangan Tiga di Desa Sukawati ini juga digelar dalam rangka mempertahankan busana adat Bali dengan pakem Desa Sukawati.

Ratusan krama lanang maupun istri berjalan secara beriringan mengenakan payas Bali. Anak-anak, remaja, ibu PKK hingga lansia antusias mengikuti prosesi ini dengan berjalan kaki mulai dari Pura Dalem hingga Pura Beji Cengcengan yang merupakan perbatasan Desa Sukawati dengan Desa Guwang.

Nilai sakral tradisi ini terletak pada tujuan Mapeed yakni mendak tirta atau toya ning di Pura Taman Beji. Selanjutnya, air suci ini dipergunakan selama pujawali berlangsung. Pujawali berlangsung selama empat hari. Selama empat hari itu pula digelar tradisi Mapeed. "Jadi, setiap hari selama pujawali ada peed saat sore hari," kata I Nyoman Suwantha, Bendesa Pakraman Sukawati.

Seperti mapeed di tempat lainnya, prosesi di Desa Sukawati diawali dengan barisan lelontekan, tedung, pasepan, dan sarana upacara lainnya. Sementara krama lanang maupun istri yang berhias menggunakan payas Bali mengambil posisi di tengah. Bagian paling belakang iringan peed ini adalah sekaa gong.

Krama desa pakraman di masing-masing banjar melangsungkan prosesi ini secara bergantian. Di Sukawati diistilahkan sebagai krama penyatusan. "Kami ada 12 banjar, yang masuk 4 satusan. Hari pertama yang Mapeed Satusan Tebuana. Hari kedua Satusan Palak, hari ketiga Satusan Telabah dan saat nyimpen Satusan Gelumpang,'' jelasnya.

Suwantha menegaskan, Mapeed setiap pujawali ini pantang ditiadakan. Selain mempertahankan tradisi, sekaligus bentuk pelestarian budaya. Ia mengingatkan krama desa untuk mempertahankan payas yang sudah menjadi pakem Sukawati. Salah satunya penggunaan kancut belakang bagi peed dewasa putri. "Karena sifat payas Bali yang dinamis, dulu memang sempat payas modifikasi mendominasi. Tapi perlahan mulai kita perbaiki," jelasnya.

Pihaknya menerjunkan secara khusus Paiketan Istri Prajuru Adat dan PKK Desa untuk memberikan pembinaan pada krama yang akan Mapeed. Mereka diminta supaya mempromosikan payas Bali, dengan pakem Sukawati yang sederhana. "Sehingga dari segi biaya ini terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat," katanya. pur/R-1

Tetap Lestari dan Rutin Dilaksanakan

Tradisi menjunjung banten secara beriringan ke pura ini hingga kini masih lestari dan rutin dilaksanakan seluruh krama banjar se-Desa Pejeng. Dulu tradisi ini hanya dilakukan krama di wilayah Jero Kuta Pejeng. Dalam beberapa tahun belakangan, Banjar Panglan dan Banjar Pedapdapan pun turut melakukan tradisi Mapeed saat piodalan di Pura Penataran Sasih.

Bak parade budaya, iring-iringan para penjunjung banten menuju pura kerap menjadi tontonan masyarakat Pejeng maupun wisatawan mancanegara. Mungkin karena itu pula krama banjar berlomba menampilkan banten terbaiknya saat Mapeed, untuk dihaturkan ke pura.

Jika menengok ke belakang, dulu warga bebas berkreasi menuangkan ide-ide seninya lewat banten yang akan dijunjung saat Mapeed. Dan, buah-buahan impor seperti apel dan jeruk seolah menjadi bahan wajib untuk banten Mapeed ini. Bahkan berbagai merek minuman kaleng pun turut menghiasi banten. Bukan hanya itu, ada beberapa warga membuat banten dengan tinggi yang melebihi tinggi banten warga pada umumnya, berkisar 100 cm - 125 cm. Tak peduli biaya yang mesti dikeluarkan lumayan besar, yang penting bantennya tampak cantik dan tampil beda.

Bercermin dari tradisi serupa di desa-desa lainnya, akhirnya ada beberapa hal yang kemudian diadopsi dan disederhanakan, untuk menekan biaya. Misalnya, wanci (dulang) yang digunakan seragam, begitu pula bahan-bahan untuk banten menggunakan jajan serta buah lokal. Ukuran tinggi banten dipangkas menjadi rata-rata 55-60 cm. Tanpa mengurangi kreativitas warga, adanya aturan seperti itu tentu meringankan beban masyarakat.

"Sederhana namun tetap hias dan cantik," ujar Nyoman Warti, salah seorang warga yang menonton iring-iringan peed di jaba Pura Penataran Sasih. pur/R-1

Komentar

Komentar
()

Top