Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Totalitas Membasmi Terorisme

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Totok Siswantara

Serangan bom oleh teroris terhadap Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Gereja GKI Jalan Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) merupakan tindakan biadab yang harus dikutuk seluruh umat manusia. Serangan itu harus menyadarkan segenap bangsa Indonesia untuk secara totalitas membasmi terorisme. Tak bisa dimungkiri, sel dan jaringan teroris telah hidup kembali. Bom Surabaya juga menunjukkan rekrutmen teroris terus berlangsung. Mereka terus menyiapkan pelaku bom bunuh diri dan personel berani mati melawan polisi.

Pascabom Surabaya tidak cukup hanya dengan meningkatkan status keamanan. Perlu usaha efektif dan sistemik untuk meningkatkan daya preventif seluruh lapisan masyarakat guna menghadapi terorisme. Modus serangan teroris saat ini tidak pandang bulu dan menimbulkan kengerian. Gerakan sosial bertajuk "kami tidak takut" sebaiknya disertai upaya preventif detail di lapangan.

Masyarakat bersama aparat keamanan harus bisa mengantisipasi aksi teroris sedini mungkin dan totalitas membasmi organisasi atau kaki tangan terorisme serta terhadap bibit-bibit teroris yang telah memasuki perdesaan. Mereka siap perang kota atau terbuka. Teroris yang beraksi seperti siluman itu tidak gentar melawan aparat kepolisian. Maka, fungsi Badan Koordinasi Intelijen Daerah (Bakorinda) tidak boleh mandul mengantisipasi terorisme. Komplikasi undang-undang yang kurang mendudukung lembaga intelijen mestinya tidak membuat kinerja Bakorinda menjadi kendor.

Aksi lone wolf atau serigala tunggal yang akhir-akhir ini menjadi model aksi teroris, kini sudah terkonsolidasi lagi menjadi aksi terkoordinasi. Penyerangan tiga gereja di Surabaya hampir bersamaan merupakan indikasi, mereka telah terkoordinasi lagi secara rapi. Perakitan bom dan pemilihan pelaku bom bunuh diri yang melibatkan wanita dan anak-anak mengindikasikan, gerakan mereka sudah masif di berbagai pelosok Tanah Air.

Selama ini aksi lone wolf terorisme sulit dideteksi karena pelakunya tidak kontak intensif dengan kelompok yang lebih besar. Ini menyulitkan deteksi lewat aktivitas intelijen terhadap pelaku teroris tunggal dibanding warlordism atau kelompok teroris konvensional. Polri sebaiknya mencegah sedini mungkin terbentuknya sel-sel tunggal sebagai model the next generation of terrorists.Organisasi besar teroris dunia yang semakin terpojok dan cerai-berai melahirkan model lone wolf yang tersebar di seluruh muka bumi.

Teroris tunggal merupakan generasi ketiga. Ini merujuk teori Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang menggolongkan kelompok teroris tersebut dalam tiga generasi. Pertama, kelompok inti Al-Qaidah seperti Mohammad Atef dan kawan-kawan yang bertanggung jawab atas penyerangan World Trade Center, Amerika Serikat, 11 September 2001. Di Indonesia, mereka anggota Al-Jamaah al-Islamiyah lulusan pelatihan paramiliter di Afghanistan dan kamp militer di Filipina Selatan. Serangan bom Bali pada 2002 dan bom Mega Kuningan, Jakarta, pada 2009 oleh Noor Din M Top serta Urwah cs dilakukan generasi ini.

Generasi kedua, yang pernah dilatih kelompok inti Al-Qaidah. Serangan teror bom di Bali oleh Imam Samudra dan kawan-kawan merupakan sebagian aksi generasi ini. Di Indonesia, mereka dilatih para lulusan Afghanistan dan Filipina Selatan. Sedangkan generasi ketiga tidak pernah dilatih generasi pertama dan kedua. Kelompok ini tidak berinteraksi langsung dengan jaringan Al-Qaidah atau afiliasinya. Namun begitu, mereka aktif dalam kegiatan keagamaan di sel sendiri. Mereka mendapat keterampilan merakit bom dan kegiatan kemiliteran secara otodidak. Generasi ketiga, misalnya Pepi Fernando, merupakan sel yang lepas dari struktur jaringan. Mereka tidak memiliki rantai komandodengan gerakan terorisme lama.

Mestinya modus rekrutmen terhadap pelaku bom bunuh diri yang kebanyakan dari kalangan belia bisa diungkap tuntas. Agar daya preventif masyarakat semakin tinggi. Fenomena kaum belia yang begitu mudah direkrut oleh jaringan teroris untuk bom bunuh diri bisa jadi merupakan puncak gunung es. Apalagi tokoh teroris tersebut memiliki cara ampuh untuk merasuki jiwa muda.

Belum Tertangani

Sayangnya, modus atau pola-pola tersebut belum tertangani secara baik oleh aparat. Padahal hal itu sangat membantu masyarakat agar lebih waspada. Ditambah lagi negeri ini boleh dikata masih dibanjiri bahan peledak yang mudah didapat di pasaran bebas maupun lewat penyelundupan perbatasan. Bahan peledak yang dikuasai jaringan teroris dapat berupa high explosive ataupun low explosive. Ternyata bahan peledak low explosive juga menjadi pilihan teroris sebagai bahan pembuat bom, meskipun berdaya ledak kurang. Para teroris memiliki alasan tepat karena bahan peledak tersebut masih mudah didapat di pasar bebas dan gampang dirakit menjadi bom.

Contohnya senyawa potasium klorat yang lebih dikenal untuk membuat petasan atau kembang api. Hingga kini senyawa itu masih mudah didapat dan dibeli di toko-toko bahan kimia. Dalam volume besar bila dicampur bahan-bahan lain seperti belerang, serbuk alumunium, charcoal dan paku, bisa berubah menjadi bom yang memiliki daya ledak mematikan.

Ujung tombak antiteroris negeri ini, Densus 88 belum didukung teknis dan politis memadai. Bahkan, sering terganggu nonteknis seperti dilakukan beberapa anggota DPR. Tak bisa dimungkiri lagi bahwa rakyat sangat berharap agar kapasitas nasional untuk menangani terorisme bisa melompat luar biasa.

Saatnya bangsa Indonesia totalitas memberantas terorisme. Harus ada deterrence factor dalam usaha pemberantasan terorisme sesperti undang-undang antiteror yang sangat keras dan penggunaan teknologi persenjataan yang lebih andal. Eksistensi Densus 88 yang merupakan ujung tombak pasukan antiteror sebaiknya bisa sinergi dengan lembaga lain. Masih banyak mata rantai dan buron terorisme yang belum tertangkap. Hal itu sangat berpotensi melakukan aksi bom lagi. Memberantas terorisme dibutuhkan kemampuan pemerintah untuk menghentikan suplai senjata, bahan peledak, dan material pendukung lainnya.

Kelompok teroris semakin nekat lalu melakukan aksi brutal dengan senjata api dan bom. Mereka tidak mustahil juga akan menggunakan bom sunyi yang bisa berbentuk racun terhadap bahan pangan maupun bom kimia serta bom bioterorisme terhadap infrastruktur publik. Aksi keji teroris merupakan peringatan keras agar tidak lengah sedetik pun untuk melindungi berbagai infrastruktur dan bahan pangan.

Otoritas keamanan hendaknya mulai memikirkan dan lebih waspada terhadap aksi teroris dalam bentuk bioterorisme. Jaringan teroris Indonesia disinyalemen telah memiliki markas di desa-desa serta daerah terpencil. Ini merupakan tempat sangat strategis untuk membuat bom biologis. Langkah teroris untuk mendapat bom biologis sangat mudah karena dengan kondisi Indonesia seperti sekarang, teroris begitu gampang mendapat berbagai ekstrak dan inokulasi aneka bakteri patogen dari lembaga ilmiah dan tempat-tempat lain. Lebih gawat lagi hingga kini tempat-tempat semacam itu belum memiliki sistem proteksi andal.

Pemerintah dan DPR perlu secepatnya merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorism (UU Antiterorisme). UU tersebut merupakan pengesahan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2002 yang kurang komprehensif untuk menghadapi terorisme di lapangan.

Penulis meminati isu terorisme

Komentar

Komentar
()

Top