Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengurangan Emisi - Tahun Ini, Sebanyak 99 Unit PLTU Ikut Perdagangan Karbon

Tingkatkan Infrastruktur Pasar Karbon

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Potensi pasar karbon di dalam negeri masih sangat besar. Namun, pengelolaannya belum maksimal karena terkedala masalah infrastruktur. Karena itu, pemerintah perlu serius mengembangkan pasar karbon sehingga dapat berkontribusi besar bagi perekonomian nasional.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, menilai potensi pasar karbon di dalam negeri cukup besar, baik dari besarnya aktivitas ekonomi maupun luasnya hutan tropis saat ini. Bahkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksikan potensi pasar dan perdagangan karbon di dalam negeri dapat mencapai 565 miliar dollar AS atau 8.475 triliun rupiah.

Namun, Bhima memperingatkan infrastruktur pasar karbon di dalam negeri masih belum tersedia sehingga menimbulkan risiko perebutan pasar karbon dengan negara lain. Jika tak segera diatasi, kondisi tersebut justru dapat membuat peluang ekonomi Indonesia hilang.

"Pemerintah perlu meningkatkan kapabilitas infrastruktur dan meningkatkan kualitas pengawasan dalam mengembangkan pasar karbon," ujar Bhima kepada Koran Jakarta, Senin (14/3).

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan 99 unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mengikuti perdagangan karbon pada 2023. Sebagai rinciannya, 55 unit PLTU dari PLN Group dan 44 unit PLTU dari Independent Power Producer (IPP).

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman Hutajulu, menyebut 99 pembangkit yang mengikuti perdagangan karbon pada 2023 ini meliputi PLTU di atas 100 mega watt (MW). "Pada 2024 di atas 50 MW PLTU-nya kita masukkan lagi. Nah, di 2025 semua pembangkit akan ikut dalam pasar karbon baik PLTGU maupun PLTG," ungkap Jisman dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (14/3).

Lebih lanjut, Jisman menjelaskan target pengurangan emisi CO2 sektor energi Indonesia sebesar 358 juta ton CO2e atau 12,5 persen dengan kemampuan sendiri, dan 446 juta ton CO2e atau 15,5 persen dengan bantuan internasional dari skenario Business as Usual (BAU) pada tahun 2030.

Menurut Jisman, untuk dapat mencapai target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca tersebut, diperlukan juga peranan dari non-party stakeholder (NSP) sehingga penurunan emisi CO2 tidak hanya dilakukan oleh pemerintah. "Instrumen yang dapat menarik minat dari NPS dalam mengurani emisi gas rumah kaca (GRK) adalah melalui perdagangan karbon," jelas Jisman.

Penetapan Harga

Pelaksanaan perdagangan karbon saat ini disebut Jisman dilakukan melalui perdagangan langsung antarpelaku usaha yang berpartisipasi pada perdagangan karbon, baik melalui mekanisme perdagangan emisi maupun offset emisi GRK.

"Harga karbon bisa ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara peserta perdagangan karbon, sehingga dapat dikatakan harga karbon adalah mengikuti dengan harga pasar. Walaupun belum dibentuknya bursa karbon dan penetapan harga, pelaku usaha tetap dapat melakukan perdagangan karbon secara langung (Business to Business) antar-unit pembangkit tenaga listrik," kata Jisman.

Seperti diketahui Kementerian ESDM secara resmi telah meluncurkan Perdagangan Karbon Subsektor Tenaga Listrik pada 22 Februari 2023. Berdasarkan peta jalan perdagangan karbon yang telah disusun, pelaksanaan perdagangan karbon berpotensi dapat menurunkan emisi GRK sebesar lebih dari 36 juta ton CO2e di tahun 2030.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top