Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Energi - Pemerintah Mesti Berkomitmen Dukung Pengembangan EBT

Tinggalkan Sumber Energi Kotor, Beralih ke EBT

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah diminta meninggalkan pembangunan pembangkit listrik berbasis energi batu bara yang terbukti kotor, sangat polutif, dan mahal. Selanjutnya, Indonesia sudah saatnya beralih pada sumber energi bersih yakni energi baru dan terbarukan (EBT), seperti tenaga surya, air, dan angin, yang tersedia sangat melimpah di Tanah Air.

Dosen Teknik Pertambangan Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, M Sigit Cahyono, mengemukakan sangat mungkin rencana pengembangan energi listrik 35 ribu megawatt (MW) dibatalkan. "Seandainya pemerintah mau bijak, kebutuhan listrik juga nggak sebesar itu. Bahkan, sesuai dengan pernyataan Menteri ESDM, 25 ribu MW sebenarnya sudah cukup.

Cuma karena sudah terlanjut ditenderkan, jadi untuk menghilangkan mungkin tidak mudah," jelas dia, ketika dihubungi, Rabu (21/2). Dalam rencana pembangunan energi listrik 35 ribu MW itu, 56 persen berasal dari energi batu bara, 37 persen menggunakan minyak dan gas, serta 7 persen memanfaatkan EBT.

"Idealnya, pemerintah berkomitmen untuk lebih banyak mengembangkan EBT, seperti tenaga surya, angin, panas bumi, dan mikrohidro," imbuh Sigit. Sementara itu, sejumlah elemen masyarakat sebenarnya juga menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara.

Misalnya, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Udayana menyatakan menolak rencana pembangunan tahap dua PLTU Batu Bara Celukan Bawang sebesar 2 x 330 MW.

"Kami bersama teman-teman telah menyatakan menolak pembangunan megaproyek tersebut karena dampaknya terhadap lingkungan sangat berbahaya dan sekarang masyarakat di sekitar kawasan PLTU Celukan Bawang sudah merasakan," kata Ketua BEM FISIP Unud, Anang Putra Setiyawan, di Denpasar, Bali, Selasa (20/2) malam.

Selanjutnya, BEM FISIP Unud akan melakukan peninjauan ke lokasi PLTU Celukan Bawang dan dilanjutkan melakukan aksi sebagai bentuk penolakan terhadap rencana pembangunan proyek PLTU tahap kedua. "Sekarang masih sosialisasi dulu agar semua mahasiswa tahu PLTU dan dampaknya.

Selanjutnya, baru kami akan melakukan gerakan lanjutan," tukas Anang. Dia juga menyayangkan pemerintah masih memakai PLTU batu bara, padahal di negara lain sudah mulai meninggalkan sumber energi kotor itu. "Padahal, masih banyak energi terbarukan yang ramah lingkungan bisa diterapkan di Indonesia," ungkap dia.

Energi batu bara yang kotor dan polutif itu tidak pernah murah dan tidak bisa bertahan selamanya karena suatu saat akan habis. Bahkan, energi polutif tersebut sebenarnya saat ini merupakan teknologi afkiran karena mulai ditinggalkan oleh sekitar 75 persen konsumen dunia, yakni Uni Eropa, Jepang, Amerika Serikat, Tiongkok, dan India.

Oleh karena itu, sangat aneh jika pemerintah ngotot menggunakan energi kotor dan mahal itu. Patut diduga ada kepentingan-kepentingan pribadi, tapi mengorbankan kepentingan satu negara.

Belum Dimanfaatkan

Sebelumnya, sejumlah kalangan menilai PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN terperangkap pemakaian sumber energi batu bara yang sangat polutif, mahal, dan pasokannya bakal habis. Sebab, saat ini sekitar 60 persen pembangkit listrik milik PLN itu menggunakan batu bara. Itu belum termasuk proyek 35 ribu MW.

Akibatnya, ketika harga batu bara melambung tak terkendali seperti saat ini, PLN kelabakan karena biaya produksi listrik tahun ini berpotensi membengkak hingga 15 triliun rupiah, seperti pada 2017. Di sisi lain, kemungkinan kenaikan tarif listrik dalam waktu dekat sudah tertutup.

Mengenai pengembangan EBT, Sigit mengungkapkan energi terbarukan di Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang besar apabila dikelola dengan baik. Total, potensinya bisa mencapai 100 ribu MW. "Total ya, ada PLT panas bumi, ada PLT biomassa, PLT tenaga surya, angin, air, dan sebagainya. Itu bahkan bisa lebih 100.000 MW.

Tapi memang nggak mudah merealisasikannya. Bisa 10 ribu MW saja sudah luar biasa," kata dia. Akan tetapi, lanjut Sigit, banyak faktor penyebab sehingga EBT belum dimanfaatkan secara baik, mulai regulasi soal tarif, perizinan, dan sengketa lahan. Faktor penghambat lain adalah biaya investasi yang saat ini masih relatif mahal.

"Semestinya pemerintah mau memberikan insentif sehingga harganya bisa lebih murah, misalnya insentif pajak, kemudahan perizinan, dan bebas biaya masuk mesin," tutur dia.

ahm/Ant/WP

Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top