Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Stabilitas Nilai Tukar I Peluang Penurunan Suku Bunga Tidak Terlihat sebelum September.

The Fed Diperkirakan Akan Mempertahankan Suku Bunga

Foto : Sumber: Federal Reserve - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

WASHINGTON - Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve, baru-baru ini mengatakan bahwa mereka kemungkinan akan mempertahankan suku bunganya pada minggu ini. Mereka juga mungkin akan mengurangi jumlah pemangkasan dari target yang telah direncanakan tahun ini, karena para pengambil kebijakan masih mencerna beragam data ekonomi.

Terhentinya kemajuan terhadap inflasi dan kuatnya pasar tenaga kerja telah mendorong banyak analis memperkirakan bahwa Komite Pasar Terbuka Federal atau Federal Open Market Committee (FOMC) yang menetapkan suku bunga tidak akan menurunkan suku bunga dari level tertingginya dalam 23 tahun terakhir, paling lambat sebelum bulan September.

Dikutip dari France 24, pemotongan suku bunga yang dimulai pada bulan September kemungkinan akan meningkatkan kesenjangan antara the Fed dan Bank Sentral Eropa atau European Central Bank (ECB), yang mulai menurunkan suku bunga kebijakan moneternya pada minggu lalu.

"Data yang dirilis sejak pertemuan terakhir menunjukkan bahwa ancaman percepatan kembali harga akibat aktivitas ekonomi yang kuat telah sedikit berkurang," tulis ekonom Wells Fargo dalam catatannya baru-baru.

"Namun, kami memiliki ekspektasi universal bahwa FOMC akan mempertahankan kisaran target suku bunga Fed Fund Rate (FFR) tidak berubah pada 5,25 persen-5,50 persen pada akhir pertemuan kebijakan pada 12 Juni," katanya.

Setelah perdebatan selama dua hari, the Fed akan memublikasikan keputusan suku bunganya pada Rabu sore dan juga akan memperbarui perkiraan ekonominya mulai bulan Maret.

Sebagian besar analis memperkirakan data sejak bulan Maret akan menyebabkan 19 anggota FOMC menurunkan jumlah pemotongan yang mereka perkirakan tahun ini, sehingga angka median turun dari tiga menjadi dua.

"Pada pertemuan FOMC bulan Juni, kami melihat the Fed merevisi prospeknya demi mendukung pertumbuhan yang lebih lambat dan inflasi yang lebih kuat," tulis ekonom Bank of America dalam catatan investor yang diterbitkan Jumat.

"Mereka harus memproyeksikan dua kali penurunan suku bunga tahun ini dan siklus pemotongan yang dimulai pada bulan September," katanya, seraya menambahkan bahwa FOMC kemungkinan perlu melihat lebih banyak bukti disinflasi sebelum mulai menurunkan suku bunga.

Bergantung pada Data

Ketua the Fed, Jerome Powell, telah berulang kali menegaskan bahwa the Fed "bergantung pada data" dan tidak akan terpengaruh oleh politik. Namun demikian, penurunan suku bunga yang pada September akan mendorong the Fed ke tengah perselisihan antara Presiden Joe Biden dan lawannya dari Partai Republik, Donald Trump, yang sebelumnya mempertanyakan independensi bank sentral AS.

Menurut data dari Chicago Mercantile Exchange (CME) Group, pedagang berjangka hampir tidak melihat peluang penurunan suku bunga sebelum bulan September. Dalam beberapa hari terakhir, mereka juga telah menurunkan ekspektasi mereka terhadap penurunan suku bunga di bulan September dengan tajam, dengan memberikan kemungkinan sekitar 50 persen pada hari Jumat bahwa the Fed tidak akan mulai melakukan pelonggaran kebijakan moneter sebelum bulan November.

Hal itu menandai perubahan dramatis dibandingkan akhir tahun lalu, ketika pasar keuangan memperkirakan sebanyak enam kali penurunan suku bunga pada tahun 2024, dengan pemotongan pertama dilakukan pada awal bulan Maret.

"Pada saat ini, tidak ada alasan untuk berpikir bahwa FOMC akan memprioritaskan risiko penurunan lapangan kerja dibandingkan risiko yang jauh lebih menonjol yaitu inflasi tinggi yang berkelanjutan," tulis ekonom di Barclays dalam catatan investor baru-baru ini.

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan kebijakan yang diambil FOMC sebenarnya untuk kepentingan dalam negeri AS.

"Namun demikian, dampak global yang muncul setidaknya ada dua yaitu pada sektor moneter (nilai tukar dollar) dan investasi," kata Badiul.

Badiul menilai BI dan pemerintah Indonesia perlu mempersiapkan kebijakan antisipatif terutama terhadap nilai tukar dollar yang bisa saja semakin menekan rupiah.

"Jika situasi ini terjadi maka potensi memburuknya ekonomi nasional semakin besar. Selain itu juga akan berdampak pada ekspor dan investasi Indonesia, " kata Baduil.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top