Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Energi - Diperlukan Insentif bagi Pengembangan Energi Terbarukan

Terlambat Kembangkan EBT Akan Bebani Keuangan Negara

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Program pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dinilai melawan tren dunia. Sebab, terkait dengan komitmen untuk menurunkan emisi karbon, kelompok negara besar dunia telah mulai beralih dari energi tenaga fosil seperti minyak dan batu bara, ke sumber energi baru dan terbarukan (EBT).

Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan di Indonesia harus memiliki kesepahaman bersama bahwa cadangan energi fosil di Tanah Air kian menipis. Apabila EBT tidak segera dikembangkan maka akan semakin membebani keuangan negara.

Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Fahmy Radhi, mengemukakan kesepahaman inilah yang belum ada selama ini, sehingga sulit mengejar ketertinggalan pengembangan EBT. "Kita sudah meneken ratifikasi Kesepakatan Paris 2015. Jika itu tidak ditindaklanjuti melalui kebijakan pengembangan EBT, maka kita melanggar kesepakatan itu," ujar dia, ketika dihubungi, Kamis (20/12).

Satu kajian lembaga internasional menyebutkan, rencana pengembangan PLTU batu bara yang agresif di tiga negara ASEAN, yakni Indonesia, Vietnam, dan Filipina tidak sejalan dengan tren dunia dan dapat berujung pada stranded asset (aset terpinggirkan) yang bisa mencapai 60 miliar dollar AS.

Khusus untuk Indonesia, ada kemungkinan terjadi penurunan nilai aset dan kerugian aset PLTU batu bara yang dapat mencapai 34,7 miliar dollar AS. Tapi, yang jelas PLN akan menanggung beban yang paling besar dan jumlahnya dapat mencapai 15 milar dollar AS atau setara 217,5 triliun rupiah (kurs 14.500 rupiah per dollar AS).

Pakar kebijakan publik dari Universitas Airlangga Surabaya, Gitadi Tegas, menilai arah kebijakan energi Indonesia yang dinilai melawan tren dunia bukan karena ketidaktahuan atau tidak kemampuan, namun lebih disebabkan keengganan pemerintah.

"Kita termasuk negara yang sangat aktif berperan dalam komunitas global, termasuk dukungan dalam KTT Iklim di Polandia dan Kesepakatan Paris. Tetapi sampai di dalam negeri, kebijakannya tidak pernah jelas," tukas dia. Menurut Gitadi, lambannya implementasi EBT karena pemerintah belum punya road map yang jelas, sehingga turunan implementasinya juga tidak jelas.

"Selain itu, karena alasan kepentingan. Pemerintah tidak berani melawan kekuatan investor-investor besar yang punya kepentingan dengan energi fosil, demi keuntungan jangka pendek," ungkap dia. Sebelumnya, sejumlah kalangan menilai untuk menarik minat investasi, pemerintah harus meningkatkan kualitas kebijakan dan kerangka regulasi yang mendukung bisnis di sektor EBT.

Paling tidak ada tiga hal penting yang mesti segera dilakukan pemerintah, yakni memperbaiki tarif pembelian listrik dari EBT hingga di atas biaya produksi, tidak membatasi persentase pengembangan EBT agar bisa mengejar ketertinggalan, serta tidak membatasi pengembangan energi bersih. Apabila hal tersebut dilakukan maka diperlukan masa transisi 2-3 tahun ke depan, sehingga pada 2021 pengembangan sektor EBT di Tanah Air menjadi masif.

Bersifat Parsial

Gitadi menegaskan pelonggaran kebijakan untuk mendorong EBT sangat diperlukan karena selama ini kebijakan yang ada hanya bersifat parsial. "Kita tidak usah malu meniru negara-negara yang sudah melakukan perubahan ke arah EBT, seperti Venezuela, Brasil, dan contoh yang ekstrem Arab Saudi.

Pemerintah harus berani melawan kepentingan investor, atas nama anak cucu turunan kita," papar dia. Dikabarkan, Arab Saudi dan Soft- Bank sepakat membangun pembangkit PLTS berkapasitas 200 GW. Proyek itu diprediksi memakan biaya 200 miliar dollar AS (setara 2.900 triliun rupiah) hingga 2030.

Terkait dengan insentif bagi pengembangan EBT, Fahmy menyebutkan salah satu skema yang ekonomis untuk diterapkan ialah diberikan subsidi bunga bagi pengembang EBT. "Perlu diakui selama ini pengembang EBT mengalami kesulitan akibat tingginya suku bunga, sehingga harus disubsidi," tutur dia.

Menurut Fahmy, skema subsidi seperti itu sudah dilakukan oleh negara maju, seperti Australia dan Arab Saudi. Di Arab, sesudah lahan dibebaskan, pemerintah menjualnya denga harga murah ke pengembang.

SB/YK/ers/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top