Terlalu Bergantung pada Impor, RI Sulit Keluar dari "Middle Income Trap"
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Eugenia Mardanugraha - Sulitnya RI melangkah lebih tinggi menjadi negara maju karena aktivitas produksi yang tidak efisien. Selain itu, pertumbuhan ekonomi hanya mengandalkan sektor-sektor tertentu saja, serta rumah tangga terlalu konsumtif dan terlalu banyak impor.
Sementara itu, Direktur Indef, Tauhid Ahmad, mengatakan Indonesia sulit keluar dari middle income trap karena pertumbuhan ekonominya rata-rata hanya 5 persen. Padahal threshold negara maju (high income) juga bergerak maju sesuai perkembangan inflasi, pertumbuhan penduduk dan nilai tukar. "Jadi bisa nggak tumbuh minimal 6 persen secara konsisten? Itu syarat agar kita keluar," kata Tauhid.
Selain itu, sektor manufaktur di saat yang sama perlu tumbuh minimal 12 persen atau dua kali lipat dari pertumbuhan ekonomi secara umum karena hanya dengan pertumbuhan manufaktur yang tinggi, pengangguran bisa terserap. BPS mencatat tingkat penyerapan tenaga kerja di industri pengolahan menjadi ketiga tertinggi sebesar 14,17 persen dari total penduduk bekerja (153,50 juta orang) atau sekitar 19 juta orang.
"Kalau tumbuh 6 persen, tapi masih ditopang oleh konsumsi dan belanja negara ya susah untuk keluar dari middle income trap, karena pertumbuhannya semu," kata Tauhid.
Pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan syarat ekonomi tumbuh itu, kuncinya pada labor (tenaga kerja), capital (modal), dan teknologi.
"Selama ini, ketiga faktor itu saya lihat belum jadi prioritas pemerintah. Artinya, jika ingin memajukan perekonomian negara harus melakukan pembangunan sumber daya manusia, memupuk investasi atau mengumpulkan modal dan menciptakan teknologi dengan riset dan pengembangan," kata Esther.
Redaktur : Vitto Budi
Komentar
()Muat lainnya