Jum'at, 22 Nov 2024, 02:30 WIB

Terapi Sel Imun CAR-T Harapan Baru bagi Penderita Autoimun

Foto: S. KIND/UNIVERSITY HOSPITAL ERLANGEN

Pada suatu hari di musim gugur tahun 2020, ahli reumatologi dan imunologi Georg Schett bergabung dengan tiga dokter dari Rumah Sakit Universitas Erlangen, Jerman. Ia mendesak mereka mencoba sesuatu yang baru.

Salah satu dari mereka, kepala hematologi/onkologi Andreas Mackensen, adalah “penjaga gerbang” pengobatan yang ingin diakses Schett yaitu terapi sel rekayasa genetika (genetically engineered cell therapy) yang inovatif. Hingga saat itu, terapi ini hanya digunakan pada penderita kanker. Namun Schett melihat potensi yang jauh lebih besar.

Ketika para dokter itu duduk di meja konferensi Mackensen, Schett menyatakan bahwa ia punya pasien bernama Vu-Thi Thu-Thao, mantan penari hip-hop dan pesenam berusia 20 tahun dan telah menderita lupus, penyakit autoimun, selama 4 tahun.

Nyeri sendi yang dialaminya sangat menyiksa dan paru-paru, jantung, dan ginjalnya diserang. Ia mengalami kesulitan bernapas dan nyeri menjalar ke seluruh dadanya. Apa yang ada dalam pikiran Schett seolah hanya pengobatan untuk pasiennya yaitu terapi sel T reseptor antigen kimerik (chimeric antigen receptor T-cell/CAR-T).

Perawatan tersebut melibatkan isolasi sel T pasien penjaga sistem imun yang menyerang dan merekayasanya di laboratorium untuk menghancurkan sel darah yang disebut sel B yang telah menjadi kanker.

Sel limfosit B atau sel B adalah jenis limfosit yang berfungsi memproduksi antibodi untuk melawan infeksi virus, bakteri, ataupun zat asing di dalam tubuh. Pada pasien dengan penyakit autoimun seperti lupus, sel ini justru memberi daya. Schett telah melihat sebuah studi tahun 2019 yang menjelaskan tikus dengan lupus bisa pulih setelah perawatan CAR-T.

Dia bertanya-tanya apakah perawatan tersebut dapat menyelamatkan seseorang seperti Thu-Thao. “Saya berkata, ‘Mengapa kita tidak melakukan ini sekarang?’” kenang Schett dikutip dari science.org.

Kelompok itu duduk di dekat jendela besar yang menghadap ke gedung penelitian translasi untuk proyek CAR-T Erlangen. Mackensen dan rekan-rekannya, termasuk ahli hematologi-onkologi Dimitrios Mougiakakos dan ahli reumatologi Gerhard Krönke, mempertimbangkan usulan tersebut.

Mackensen telah merawat puluhan pasien kanker dengan terapi CAR-T, bahkan mendirikan fasilitas di kampus untuk memproduksi sel untuk uji klinis. Terapi CAR-T, menurut dia, tidak berhasil untuk semua orang dan bisa jadi berisiko.

Sel-sel yang direkayasa terkadang membuat sistem imun bekerja sangat keras, atau memicu toksisitas otak yang sangat parah sehingga pasien tidak dapat berbicara selama berhari-hari, bahkan beberapa orang meninggal karenanya.

Bahaya semacam itu dianggap dapat diterima pada penderita kanker yang tidak memiliki pilihan dan menghadapi kematian yang mengancam, namun tidak bisa diterima bagi penderita lupus.

Lebih jauh, pasien lupus sudah memiliki sel-sel T yang menyerang jaringan mereka sendiri. Apakah memasukkan bonus tambahan sel-sel ini lebih banyak menimbulkan bahaya daripada manfaat?

Melihat Thu-Thao menderita dari dekat telah meyakinkan Mackensen bahwa terapi itu layak dicoba. “Dia masih sangat muda. Saya melihat bahwa tidak ada pilihan lagi,” kata dia

Mackensen pun menyetujui rencana untuk merawatnya dengan sel-sel CAR-T yang dibuat di pusat pemrosesan sel rumah sakit. “Itu adalah eksperimen yang berani,” kata David Porter, seorang ahli hematologi-onkologi di University of Pennsylvania (UPenn) yang membantu menulis bab pertama CAR-T.

Efek Samping Minimal

Pada tahun 2010, Porter dan rekan-rekannya merawat tiga pria yang menderita leukemia dan menyaksikan sel-sel hasil rekayasa tersebut menghancurkan tumor berpon-pon. Porter masih ingat betul naik turunnya emosi para dokter pada masa-masa awal itu.

Sekarang giliran Mackensen, karena Thu-Thao menjalani pengobatan yang sama dengan pasien kankernya. Dimulai dengan kemoterapi selama 3 hari untuk membunuh sel-sel imunnya dan memberi ruang bagi sel-sel T baru, yang dimasukkan kembali setelah rekayasa genetika di laboratorium yang berjarak beberapa langkah dari tempat tidurnya di rumah sakit.

Selama sepekan, Mackensen hampir tidak tidur. “Saya menelepon unit kami setiap dua jam untuk menanyakan keadaannya. Namun, perempuan muda itu hanya mengalami efek samping ringan dari sel-sel tersebut seperti demam dan sedikit kelelahan, yang kemudian berlalu,” tutur dia.

Tiga setengah tahun kemudian, dia tidak lagi mengkonsumsi obat lupus dan menjadi mahasiswa universitas yang mempelajari teknologi medis. “Dia orang yang biasa Anda temui di jalan dan dia benar-benar sehat,” kata Schett.

Setelah menerbitkan kisah Thu-Thao di The New England Journal of Medicine (NEJM) pada Agustus 2021, para dokter Erlangen merawat pasien kedua, lalu pasien ketiga. Secara perlahan, mereka beralih ke penyakit autoimun lainnya.

Hingga saat ini, mereka telah membagikan hasil pada 20 pasien yang dirawat melalui program penggunaan penuh belas kasih universitas; lebih dari 20 lainnya telah menerima terapi CAR-T, sebagian besar sebagai bagian dari uji klinis yang dibuka Erlangen tahun lalu. Semua pasien, kata Schett, mengalami efek samping minimal dan merespons pengobatan. Hanya satu, dengan kondisi miositis yang merusak otot, yang kambuh.

Keberhasilan para dokter di Jerman memberikan kejutan besar di bidang ini. Lupus, yang dipilih sebagai target CAR-T sebagian karena keberhasilan studi hewan, sejauh ini telah menjadi fokus. Namun, sel B merupakan benang merah di banyak kondisi autoimun, termasuk multiple sclerosis (MS), scleroderma (juga disebut sklerosis sistemik), rheumatoid arthritis, dan myasthenia gravis.

Puluhan juta orang di Amerika Serikat (AS) menderita penyakit autoimun. Perawatan saat ini berupa obat penekan kekebalan tubuh, dapat memberi stabilitas, tetapi tidak semua orang terbantu. Beberapa orang bahkan menjadi lemah karena efek samping obat.

Jutaan dollar kini mengalir ke uji coba CAR-T di seluruh dunia, beberapa dijalankan oleh raksasa obat seperti Novartis, yang memasarkan terapi kanker CAR-T pertama yang disetujui di AS. hay/I-1

Redaktur: Ilham Sudrajat

Penulis: Haryo Brono

Tag Terkait:

Bagikan: