
Teori Baru Bumi Sangat Basah di Jaman Purba
Foto: A. Angelich / NRAO/AUI/NSFSaat Bumi pertama kali terbentuk, suhunya terlalu panas untuk menahan es. Hal ini menandakan saat itu tidak ada air. lalu dari Ini berarti semua air di planet kita pasti berasal dari sumber luar angkasa.
Penelitian terhadap batuan terestrial purba menunjukkan bahwa air cair sudah ada di Bumi sejak 100 juta tahun setelah Matahari terbentuk. Hal ini secara praktis terjadi ‘segera’ dalam skala waktu astrofisika.
Foto: A. Angelich / NRAO/AUI/NSF
Skala waktu dalam astrofisika adalah skala waktu yang diatur oleh proses-proses fisika di dalam bintang, menggambarkan sebuah rentang waktu tahapan evolusi bintang yang dibatasi oleh dua perubahan mencolok akibat perubahan kondisi fisis bintang.
“Air ini, yang kini berusia lebih dari 4,5 miliar tahun, telah diperbarui secara terus-menerus melalui siklus air Bumi. Tim peneliti saya baru-baru ini mengajukan teori baru untuk menjelaskan bagaimana air pertama kali muncul di Bumi,” tulis Quentin Kral, Ahli Astrofisika di L’observatoire de Paris-PSL, CNRS, Sorbonne Université, dan Université Paris Cité.
Ia menambahkan, ahli astrofisika telah bergulat dengan pertanyaan tentang bagaimana air muncul di planet muda kita selama beberapa dekade. Salah satu hipotesis paling awal menunjukkan bahwa air Bumi merupakan produk sampingan langsung dari pembentukan planet, yang dilepaskan melalui magma selama letusan gunung berapi, di mana sebagian besar gas yang dipancarkan adalah uap air.
“Namun, hipotesis ini berkembang pada tahun 1990-an setelah analisis komposisi air Bumi dan penemuan peran potensial komet es, yang menunjukkan asal usulnya dari luar bumi,” ujar Kral dalam tulisan yang diterbitkan di laman The Conversation.
Komet, yang merupakan campuran es dan batu yang terbentuk di bagian terjauh tata surya, terkadang terlempar ke arah Matahari. Saat dihangatkan oleh Matahari, mereka mengembangkan ekor debu dan gas yang mencolok yang terlihat dari Bumi.
Asteroid, yang terletak di sabuk asteroid antara Mars dan Jupiter, juga diusulkan sebagai calon nenek moyang air Bumi. Penelitian tentang komet dan batuan asteroid melalui meteorit pecahan kecil benda-benda ini yang telah jatuh ke Bumi telah memberikan wawasan penting.
Dengan menganalisis rasio D/H proporsi hidrogen berat (deuterium) terhadap hidrogen standar para ilmuwan menemukan bahwa air Bumi lebih mirip dengan air asteroid ‘karbon’, yang memiliki jejak air di masa lalu. Hal ini mengalihkan fokus penelitian ke asteroid ini.
Penelitian terkini berfokus pada identifikasi mekanisme langit yang dapat mengantarkan asteroid kaya air ini ke permukaan kering Bumi purba. Banyak teori telah muncul untuk menjelaskan ‘gangguan’ planetesimal benda-benda es besar di sabuk asteroid dan Kuiper.
Skenario ini mengusulkan interaksi gravitasi yang melepaskan benda-benda ini, mengirimnya melesat ke Bumi. Peristiwa semacam itu akan membutuhkan proses ‘biliar gravitasi’ yang kompleks, yang menunjukkan sejarah Tata Surya yang penuh gejolak.
Meskipun jelas bahwa pembentukan planet melibatkan pergolakan dan benturan yang signifikan, ada kemungkinan bahwa pengiriman air ke Bumi terjadi dengan cara yang lebih alami dan tidak terlalu dramatis.
Hipotesis yang lebih sederhana
“Saya mulai dengan asumsi bahwa asteroid muncul dalam keadaan es dari kepompong pembentukannya, yang juga dikenal sebagai cakram protoplanet. Kepompong ini adalah cakram besar kaya hidrogen yang diisi dengan debu, tempat planet dan sabuk awal terbentuk,” paparnya.
Foto: afp/ Handout / NASA
Kepompong ini menyelimuti seluruh sistem planet yang baru lahir. Setelah kepompong pelindung ini menghilang setelah beberapa juta tahun asteroid memanas, menyebabkan esnya mencair atau, lebih tepatnya, menyublim. Di luar angkasa, di mana tekanannya hampir nol, air tetap dalam bentuk uap setelah proses ini.
Cakram uap air kemudian ditumpangkan pada sabuk asteroid yang mengorbit Matahari. Saat es menyublim, cakram tersebut terisi dengan uap, yang menyebar ke dalam menuju Matahari karena proses dinamis yang kompleks. Sepanjang perjalanan, cakram uap ini bertemu dengan planet-planet bagian dalam, membenamkannya dalam semacam ‘pemandian’.
Dengan cara tertentu, cakram tersebut ‘mengairi’ planet-planet terestrial: Mars, Bumi, Venus, dan Merkurius. Sebagian besar penangkapan air ini terjadi 20 hingga 30 juta tahun setelah pembentukan Matahari, selama periode ketika luminositas Matahari meningkat secara dramatis dalam waktu singkat, meningkatkan laju degassing asteroid.
Setelah air ditangkap oleh tarikan gravitasi planet, banyak proses dapat terjadi. Namun, di Bumi, mekanisme perlindungan memastikan total massa air tetap relatif konstan sejak akhir periode penangkapan hingga saat ini. Jika air naik terlalu tinggi ke atmosfer, ia mengembun menjadi awan, yang akhirnya kembali ke permukaan sebagai hujan proses yang dikenal sebagai siklus air.
Jumlah air di Bumi, baik dulu maupun sekarang, terdokumentasi dengan baik. Model kami, yang dimulai dengan pelepasan gas dari es dari sabuk asteroid asli, berhasil memperhitungkan jumlah air yang dibutuhkan untuk membentuk lautan, sungai, dan danau, dan bahkan air yang terkubur jauh di dalam mantel Bumi.
Pengukuran yang tepat dari rasio D/H air di lautan juga selaras dengan model yang dimiliki oleh Kral.Selain itu, model tersebut menjelaskan jumlah air yang ada di masa lalu di planet lain dan bahkan di Bulan.
“Anda mungkin bertanya-tanya bagaimana saya sampai pada teori baru ini. Teori ini berasal dari pengamatan terkini, khususnya yang dilakukan dengan The Atacama Large Millimeter/submillimeter Array (ALMA), susunan teleskop radio dengan lebih dari 60 antena yang terletak di Chili, di dataran tinggi lima kilometer di atas permukaan laut,” paparnya.
Pengamatan sistem ekstrasurya dengan sabuk yang mirip dengan Sabuk Kuiper mengungkapkan bahwa planetesimal di sabuk ini menyublimkan karbon monoksida (CO). Untuk sabuk yang lebih dekat dengan bintangnya, seperti sabuk asteroid, CO terlalu mudah menguap untuk hadir, dan air lebih mungkin dilepaskan.
Membangun model
Dari temuan-temuan inilah ide awal untuk teori tersebut mulai terbentuk. Selain itu, data terkini dari misi Hayabusa 2 dan OSIRIS-REx, yang mengeksplorasi asteroid yang mirip dengan asteroid yang mungkin berkontribusi pada pembentukan cakram uap air awal, memberikan konfirmasi penting.
Misi-misi ini, bersama dengan pengamatan jangka panjang dari teleskop berbasis darat, mengungkapkan sejumlah besar mineral terhidrasi pada asteroid-asteroid ini mineral yang hanya dapat terbentuk melalui kontak dengan air. Hal ini mendukung premis bahwa asteroid-asteroid ini awalnya dingin, meskipun sebagian besar telah kehilangan esnya (kecuali untuk benda-benda yang lebih besar seperti Ceres). hay
Berita Trending
- 1 Negara Paling Aktif dalam Penggunaan Energi Terbarukan
- 2 Ekonomi Biru Kian Cerah! KKP dan Kemnaker Maksimalkan Peluang Lapangan Kerja
- 3 Menpar Sebut BINA Lebaran 2025 Perkuat Wisata Belanja Indonesia
- 4 Bukan Arab Saudi, Negara Penghasil Kurma Terbesar Dunia Berasal dari Afrika
- 5 THR Untuk Ojol Harus Diapresiasi dan Diawasi
Berita Terkini
-
Jasa Marga Beri Diskon Tarif Tol 20% Selama 8 Hari, Ini Jadwal dan Besaran Tarifnya
-
Tips Mudik Aman dengan Balita: Nyaman dan Bebas Stres
-
Klasemen Liga Italia: Inter Milan Perlebar Jarak dengan Napoli
-
Finis di Posisi Kedua, Verstappen Tetap Merasa Mendapat Poin Awal yang Baik di Australia
-
Klasemen Liga Inggris: Arsenal Pangkas Jarak Jadi 12 Poin