Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Tender Proyek Pemerintah

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Masri Hanus, MA

Anggaran pengadaan barang dan jasa, proyek fisik pemerintah dengan dana APBN dan APBD masih salah urus, dikorupsi, nepotisme, dan penyuapan. Pejabat pemerintah mulai dari atasan langsung unit pengelola program/proyek tertentu, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) langsung atau tidak, senang intervensi yang menyuburkan praktik koruptif. Pejabat pemerintah, PPK, panitia tender harus bisa mencegah permainan proyek, walau sulit. Ibarat "pagar makan tanaman," pejabat ikut bermain, bahkan pengambil inisiatif.

Praktik buruk seperti ini merugikan negara. Berdampak penurunan kualitas barang dan jasa, serta proyek fisik yang dibangun. Fee dari pemenang tender kepada pejabat adalah harga pokok bagi perusahaan yang diperhitungkan sebagai biaya. Tidak ada pengusaha yang ingin rugi.

Pengusaha mengimplementasi prinsip ekonomi dengan pengorbanan sekecil mungkin dan untung sebesar-besarnya. Padahal, volume keuntungan perusahaan yang mengerjakan proyek pemerintah pun standar, sekitar 10 persen dari nilai proyek. Lebih dari itu, kualitas proyek menurun.

Terkait intervensi pejabat pemerintah dalam proses tender proyek-proyek, pernah disurvei Indonesia Procurement Watch (IPW) dengan sampel beberapa kota seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Hasilnya, praktik kotor pejabat memprihatinkan. Ada 89 persen penyedia barang dan jasa pengusaha rekanan pemerintah diduga menyuao agar menang tender.

Hasil survei disampaikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Temuan IPW lainnya juga memprihatinkan. Ternyata, 92 persen penyedia barang dan jasa atau pengusaha rekanan pemerintah pernah menyuap dalam mengikuti tender. Sebanyak 89 persen di antaranya bisa menang tender. Kemudian, 72 persen inisiatif pemberi suap dari aparat pemerintah. Ketika IPW menanyakan apakah mungkin pengusaha untuk mendapatkan tender, tanpa melalui penyuapan, jawaban pengusaha "hampir tidak mungkin."

KPK mempunyai pekerjaan rumah mahaberat karena volume APBN untuk pengadaan barang dan jasa, fisik maupun nonfisik meningkat tiap tahun. Otomatis volume APBD provinsi, kabupaten/kota juga ikut naik. KPK bisa menyelamatkan keuangan negara melalui pencegahan tindak kejahatan dalam proses penawaran semenjak awal.

Metoda operasi tangkap tangan (OTT) melalui penyadapan terbukti efektif, sehingga KPK bisa mengimplementasi metode penyadapan pada proses tender. Banyak kasus suap, gratifikasi terbukti, sudah dimulai sejak awal, yaitu pada proses tender. Metode penyadapan efektif menjaring pejabat korup dan penerima suap. Tentu KPK tidak perlu menyadap semua proyek, tapi fokus pada proyek fisik dan nonfisik di atas 50 miliar rupiah.

Nilai proyek di atas 50 miliar terutama untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, irigasi, alat kesehatan, fasilitas pendidikan, bandar udara, pelabuhan, transmigrasi, dan gedung pemerintah khusus di ibu kota provinsi. Hingga kini KPK masih merupakan lembaga pengawasan yang amat disegani. Cukup banyak korupsi dibongkar melalui OTT KPK.

Kasus OTT KPK terhadap Marianus Sae, cagub provinsi Nusa Tenggara Timur periode 2018-2023 sebelumnya Bupati Kabupaten Ngada, pelajaran mahal. Pengusaha penyedia barang dan jasa dari empat bidang usaha yakni jasa konstruksi, jasa konsultasi, barang, dan jasa lainnya itu mengaku hampir tidak mungkin menang tender, tanpa suap. Lembaga pengawasan pemerintah bergerak lamban untuk menangkap pejabat pemerintah, dengan pemberi suap, gratifikasi pada saat proses tender.

Minim

Pemerintah mempunyai lembaga pengawasan BPK, BPKP, Inspektorat Jenderal dari K/L, Inspektorat Daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Alokasi dana operasional serta jumlah dan kualitas SDM pada lembaga pengawasan cukup banyak. Mengapa, suap dan gratifikasi yang berhasil dibongkar di tahap melaksanakan tender minim?

Peraturan terkait pengawasan harus diperkuat. Pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan spesifik yang lebih ketat mewajibkan lembaga pengawasan lebih intensif mengawasi suatu tender. Ini terutama proyek dengan nilai 50 miliar ke atas. Tujuannya pencegahan kemungkinan kegagalan suatu tender, mencegah permainan suap dan gratifikasi pengusaha kepada pejabat pemerintah, mencegah sindikat perusahaan mengikuti tender.

Selain tujuan pencegahan, diperlukan penalti lebih tegas dan keras bagi peserta tender. Misalnya, kedapatan menyuap, tender dibatalkan dan di-black list. Hukuman tidak berhenti di situ. Yang bersangkutan dan badan usahanya diadili. Sindikasi perusahaan peserta tender ini masalah klasik. Pengusaha pintar mencari celah peraturan. Mereka secara pertemanan mendirikan CV atau PT untuk mengikuti dan "bersaing" dalam tender.

Perusahaan di luar sindikasi terkurung. Alhasil, pemenangnya sindikasi jahat tersebut. Praktik ini telah berlangsung lama. Bahkan diketahui panitia tender atau pejabat terkait suatu unit pemerintah. Persoalan ribet dikarenakan pejabat dan panitia tender kurang serius atau tak mau tahu. Mereka membiarkan praktik busuk terus berlangsung.

Bukan hal baru suap dan gratifikasi untuk memenangkan proyek. Harapannya praktik busuk seperti itu jangan makin marak. Suap serta gratifikasi yang berdampak menurunkan kualitas program pemerintah direduksi. Intervensi atasan langsung begitu mendominasi proses tender untuk memenangkan perusahaan tertentu. Panitia tender harus berani menolak intervensi atasan langsung. Apa pun jabatannya, menteri, pejabat eselon satu, gubernur, bupati, wali kota.

Dari pengungkapan berbagai kasus intervensi, suap dan gratifikasi kepada pejabat pemerintah dan panitia tender, kasusnya lebih marak pada tingkat pemerintah daerah ketimbang di tingkat K/L. Intervensi gubernur, bupat, wali kota dalam proses tender akan semakin brutal dengan seandainya oknum legislatif ikut main.

Sejumlah pemda telah mewujudkan e-planning dan e-budgeting dalam proses tender. Masalahnya, tergantung pada mentalitas pejabat pemerintah dan panitia tender. Oknum pejabat tertentu membuat kesepakatan yang ujung-ujungnya duit, sebelum lelang elektronik. Lembaga pengawasan pemerintah, termasuk KPK sudah mengetahui praktik busuk ini. PR lembaga pengawasan sungguh berat.


Penulis Widyaiswara Utama Pusdiklat Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial

Komentar

Komentar
()

Top