Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Energi I Subsidi Pertalite dan Solar Bakal Habis pada Oktober Mendatang

Telat Transisi dari Fosil ke EBT, APBN Terancam Jebol oleh Subsidi

Foto : ANTARA/RIVAN AWAL LINGGA

PEMERINTAH BERENCANA MENAIKKAN HARGA PERTALITE DAN SOLAR BERSUBSIDI I Pengendara antre untuk mengisi Bahan Bakar Minyak di salah satu SPBU di kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat (26/8). Pemerintah berencana untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya jenis BBM Pertalite dan Solar bersubsidi.

A   A   A   Pengaturan Font

» Indonesia perlu mempercepat transisi menuju energi terbarukan untuk mengatasi ruang fiskal yang semakin sempit.

» Kebergantungan ke energi fosil tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga penyebab krisis iklim dan membahayakan ketahanan energi.

JAKARTA - Pemerintah dalam beberapa kesempatan secara implisit sudah memberi sinyal menyerah untuk terus menggelontorkan subsidi ke pertalite dan solar karena selisih harga jual dan keekonomiannya yang sangat besar. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam penjelasan terkini menyatakan subsidi pada dua jenis bahan bakar minyak (BBM) itu akan habis pada Oktober mendatang.

Jika pemerintah bersikukuh mempertahankan harga BBM subsidi yang tidak masuk akal, dampaknya akan memengaruhi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, karena subsidinya akan diambil untuk menutupi tambahan kekurangan subsidi tahun ini.

Selain itu, penyaluran subsidi BBM saat ini dinilai banyak dinikmati kelompok rumah tangga mampu yakni sekitar 90 persen untuk solar dan 80 persen untuk pertalite. Jebolnya subsidi BBM itu, juga tidak terlepas dari lambannya transisi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT).

Pengamat energi terbarukan dari Universitas Brawijaya, Malang, Adi Susilo, mengatakan Indonesia perlu mempercepat upaya transisi menuju energi terbarukan untuk mengatasi ruang fiskal yang semakin sempit.

"Cadangan energi saat ini semakin mengkhawatirkan karena masih bergantung pada energi fosil, perlahan tapi pasti, energi fosil akan habis. Tidak ada pilihan, selain beralih ke energi terbarukan," kata Adi.

Pilihan Sulit

Pemerintah perlu mempercepat transisi energi dengan mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi dan meningkatkan pemakaian energi alternatif, khususnya energi terbarukan.

Tentu hal itu bisa berjalan kalau ada tekad yang kuat dan ada langkah yang konkret. Salah satu yang bisa dilakukan untuk percepatan adalah memberi kemudahan dan ruang agar industri energi bersih ini dapat lebih cepat berkembang.

"Bisa dengan insentif pajak atau berbagai kemudahan aturan lainnya, terutama bagi investor maupun pengusaha yang ingin bekerja di bidang energi terbarukan," katanya.

Selain itu, konservasi energi juga perlu dijalankan dengan meningkatkan penghematan energi. Ini bisa dilakukan dengan mengatur pembangunan industri padat energi mendekati pusat-pusat sumber daya energi, serta dengan membangun moda-moda transportasi massal.

"Harga minyak yang tinggi bisa saja berlangsung dalam kurun waktu lebih lama, sehingga saat ini tengah mencari keseimbangan baru. Kebergantungan tersebut menyebabkan pemerintah akan berada terus dalam pilihan sulit.

"Kalau menaikkan harga BBM yang bakal memberatkan warga terutama yg berpendapatan rendah atau mengalokasikan subsidi dalam jumlah yang tidak masuk akal," kata Adi.

Kondisi saat ini seharusnya jadi peringatan keras bagi Indonesia untuk memulai langkah ambisius beralih ke energi bersih dan terbarukan.

Dalam jangka pendek, pemerintah harus mengurangi subsidi dan kompensasi BBM secara bertahap dengan meminimalisasi dampak terhadap terhadap kelompok ekonomi bawah, terhadap kelompok hampir miskin dan miskin.

"Pada saat bersamaan, pemerintah harus segera memiliki peta jalan yang jelas dan ambisius untuk beralih ke energi bersih terbarukan seperti energi matahari yang jumlahnya melimpah," katanya.

Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Tata Mustasya, pada kesempatan terpisah mengatakan subsidi dan kompensasi BBM yang sangat besar (lebih dari 500 T dan bisa lebih besar lagi) karena kenaikan harga minyak global menunjukkan bahwa kebergantungan terhadap energi fosil saat ini tidak hanya merusak lingkungan dan menjadi penyebab krisis iklim, tetapi juga membahayakan ketahanan energi (energy security) dan akses ke energi.

Menkeu dalam penjelasannya mengaku khawatir jika anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) tidak ditambah pada tahun ini, karena akan menambah beban pada anggaran subsidi di 2023.

Menurut perhitungan pemerintah, anggaran subsidi tahun ini harus ditambah 195,6 triliun rupiah dari total subsidi tahun ini yang sebesar 502 triliun ripiah. Jika pemerintah tidak menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, total anggaran subsidi dan kompensasi tahun membengkak dan bisa menembus hingga 698 triliun rupiah.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top