Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan Perpajakan

“Tax Ratio" Masih Rendah

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sejumlah kalangan menyoroti tren rendahnya tax ratio Indonesia setelah sepuluh tahun reformasi perpajakan. Berdasarkan data Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) per 2020, tax ratio Indonesia berada di angka 10,1 persen, hanya lebih baik dari Bhutan dan Laos.

"Angka tersebut jauh di bawah rata-rata negara OECD, yaitu 33,5 persen. Ini menjadi pekerjaan rumah (PR) besar kita," ujar Anggota Komisi XI DPR, Andreas Eddy Susetyo, di Jakarta, Rabu (3/8).

Tax ratio adalah cara untuk mengukur kondisi perpajakan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Melalui tax ratio, akan tergambar seberapa besar pajak yang dapat dihimpun pemerintah dari kegiatan ekonomi yang terjadi di negaranya.

Meskipun demikian, tambahnya, jika dilihat lebih jauh, rendahnya tax ratio ini tidak berbanding lurus dengan tren peningkatan PDB per kapita Indonesia. "Kalau kita lihat PDB per kapita kita itu naik. Jadi di mana sebetulnya letak utama gap ini. Ini yang sebenarnya menjadi PR besar kita," tanya Andreas.

Dia menilai gap tersebut terjadi, salah satunya, karena tingkat pekerjaan informal yang tinggi yang mana 56 persen ekonomi Indonesia disumbang dari UMKM atau berasal dari 56,4 juta penduduk Indonesia yang belum terdata dengan baik dalam sistem perpajakan.

"Nah, ini yang kita sudah usahakan agar gap ini kita tutup melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang sudah disahkan, di antaranya bahwa semua kita masukkan ke dalam sistem seperti yang selama ini ada di PPN. Walaupun dalam PPN juga ada fasilitas nol persen sebagai sebuah pengecualian," urai legislator dapil Jawa Timur V itu.

Adapun tax ratio yang menggunakan rekomendasi dari OECD dimaknai sebagai semua penerimaan yang dibayarkan warga negara kepada negaranya, sehingga turut mencakup Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang bersumber dari sektor Sumber Daya Alam (SDA) dan pajak daerah.

Beban APBN

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Program Indef, Esther Sri Astuti, menilai pemerintah perlu secara bijak menyikapi penurunan tax ratio ini agar tidak membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Apalagi sebelumnya Menteri Keuangan mengatakan potensi beban subsidi dan kompensasi menahan gejolak harga komoditas pada 2022 mencapai 443,6 triliun rupiah.

Dia mencontohkan dengan menggunakan harga minyak mentah atau ICP sebesar 100 dollar AS per barel, terdapat kenaikan kebutuhan beban subsidi dan kompensasi senilai 291 triliun rupiah dari target APBN 2022 sebesar 152,5 triliun rupiah.

Terkait subsidi pangan, kata Esther, bantuan itu hanya bersifat sementara dan tidak bisa dilakukan terus-menerus. Apalagi kalau mempertimbangkan tren penurunan tax ratio dalam lima tahun terakhir.

"Tax ratio Indonesia sekarang kurang dari 10 persen. Sangatlah tidak bijak bila subsidi diberikan untuk jangka panjang. Memberi subsidi, hanya ibarat memadamkan api sementara. Tetapi, sewaktu-waktu api akan menyala lagi bahkan lebih besar," pungkas Esther.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top