Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Asumsi Dasar

Target Pertumbuhan 6-8 Persen Dinilai Bombastis dan Tidak Realistis

Foto : Sumber: BPS - KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia harus mencapai 6-8 persen pada tiga tahun ke depan untuk menjadi negara maju pada 2045 dinilai tidak realistis, bahkan terkesan bombastis.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan pertumbuhan 8 persen merupakan asumsi yang tidak berdasar. Sebab, motor utama pertumbuhan Indonesia sampai saat ini masih bergantung ke konsumsi rumah tangga, sementara industri manufakturnya lemah.

Malah yang terjadi deindustrialisasi prematur terus berlanjut karena banyak pabrik yang tutup, malah ada yang relokasi ke luar negeri.

"Bagaimana pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita bisa naik kalau pekerjaan formal masih sulit didapat. Kalau Indonesia cuma jadi pasar, itu bahaya karena angka impornya melonjak tajam dan mengganggu pertumbuhan ekonomi," kata Bhima.

Dari sisi ekspor Indonesia sudah terlalu bergantung pada Tiongkok hingga 2029, padahal pertumbuhan ekonominya diperkirakan turun hingga di bawah 4 persen. Jelas hal itu alarm bagi kinerja ekspor Indonesia jangka panjang kalau tidak segera diversifikasi pasar ke negara lain.

Faktor lain, jelas Bhima, adalah Indonesia cenderung bergantung pada bonanza komoditas yang sulit diperkirakan. Harga sawit sempat naik kemudian turun tajam seiring harga minyak mentah yang landai. Cadangan Nikel untuk baterai kendaraan listrik bisa habis sebelum 2045 karena over eksploitasi beberapa tahun terakhir.

"Sebenarnya motor pertumbuhan ini yang mesti dicari karena tidak ada negara tumbuh tinggi kalau manufakturnya tidak kuat," tandas Bhima.

Produktivitas Rendah

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky, mengatakan salah satu yang menjadi masalah industri Indonesia ialah rendahnya produktivitas dan aturan yang ketat terhadap masuknya penanaman modal asing (PMA). Di antara negara-negara emerging market, Indonesia adalah negara kedua dengan pembatasan PMA paling tinggi.

"Ini menjadi hambatan utama bagi agenda peningkatan produktivitas secara keseluruhan," tegas Riefky.

Lesunya manufaktur, jelasnya, seperti tergambar pada triwulan IV-2023 lalu menimbulkan kekhawatiran. Artinya, Indonesia harus mempercepat transformasi struktural dan meningkatkan produktivitas secara keseluruhan.

Dia mengidentifikasi munculnya indikasi terjadinya deindustrialisasi prematur.

"Kontribusi sektor manufaktur atau pengolahan sebagai sektor terbesar di perekonomian (berdasarkan klasifikasi 17 sektor), mengalami penurunan dari 22,1 persen pada 2011 menjadi 20,4 persen pada 2023," kata Riefky.

Agar lebih produktif maka manufaktur RI perlu bertransformasi ke penggunaan teknologi. "Adopsi teknologi memainkan peran penting dalam meningkatkan produktivitas," ujarnya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top