Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Taliban Jadikan Ganja Komoditas Andalan

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Setelah sebelumnya sejumlah kelompok Taliban di Afghanistan menggunakan opium sebagai komoditas andalan mereka. Namun kali ini, mereka dikabarkan memiliki komoditas baru yaitu ganja atau cannabis.

Kantor PBB untuk Masalah Narkoba dan Kriminal, UNODC, pada 2021 melaporkan bahwa Afghanistan ada di peringkat kedua peredaran ganja di seluruh dunia. Afghanistan ada di peringkat kedua daftar tersebut di bawah Maroko.

Bahan untuk hasil panen ganja, Afghanistan bisa memproduksi 145 kilogram per hektar. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi ketimbang Maroko yang hanya 40 kilogram per hektar.

Setelah Afghanistan, ada Pakistan dan Lebanon di peringkat ketiga dan keempat. Peredaran ganja asal negara-negara timur tengah tersebar meliputi Semenanjung Arab, Asia Selatan, dan Asia Barat.

Cannabis resin atau hasis dari Afghanistan juga ditemukan di negara-negara Asia, Eropa Timur, Eropa Barat, dan Eropa Tengah. Hal tersebut diketahui saat proses penyitaan ganja.

Beberapa faktor jadi pemicu budidaya ganja oleh Taliban, antara lain aturan hukum terkait tantangan, seperti ketidakstabilan politik, ketidakamanan yang disebabkan oleh kelompok pemberontak.

Selain itu, faktor sosial ekonomi juga mempengaruhi penanaman ganja di Afghanistan, karena kesempatan kerja yang langka, kurangnya pendidikan yang berkualitas, serta akses yang terbatas ke pasar global.

Adanya pandemi Covid-19 pun tidak mempengaruhi budidaya ganja di Afghanistan. Bahkan di 2010 silam Afghanistan sudah lama menjadi produsen opium terbesar di dunia, menurut catatan PBB.

Dengan capaian tersebut, PBB menjadikan Afghanistan sebagai produsen ganja terbesar dunia, mencapai 1.500- 3.500 ton per tahun.

"Laporan ini menunjukkan bahwa masalah narkoba Afghanistan bahkan lebih kompleks dari sekedar perdagangan opium," kata kepala UNODC, Antonio Maria Costa, dalam laporan tersebut.


Editor : Fiter Bagus
Penulis : Hari Styawan

Komentar

Komentar
()

Top