Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Piutang Negara I BLBI dan Obligasi Rekap Rugikan Negara, tapi Untungkan Konglomerat

Tagih BLBI dan Bunganya yang Capai Rp1.000 Triliun

Foto : ISTIMEWA

Ketua Dewan Pengarah Satgas BLBI, Mahfud MD - Rakyat tahu, DPD tahu, bahwa Anda seharusnya membayar lebih banyak dari itu, masak ditagih yang sesuai dengan ada di catatan saja masih mau mangkir? Kami buru sampai dapat

A   A   A   Pengaturan Font

» Piutang yang ditagih pemerintah 110 triliun rupiah ke para pengemplang jumlahnya jauh lebih kecil dari yang sewajarnya mereka bayar.

» Saham BCA dijual 51 persen senilai 5 triliun rupiah, tetapi di saat yang sama sebagai pemegang obligasi rekap menerima 6 triliun rupiah.

JAKARTA - Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) diminta lebih tegas dan gencar menagih para obligor/debitor yang telah mengemplang ke negara selama 23 tahun. Satgas pun diminta tidak hanya menagih sebesar 110 triliun rupiah seperti yang tercatat, tetapi juga harus memperhitungkan bunga selama 23 tahun.

Ketua Dewan Pengarah Satgas BLBI, Mahfud MD, saat memenuhi panggilan Ketua DPD di Jakarta, Kamis (2/12), mengatakan piutang yang ditagih pemerintah 110 triliun rupiah ke para pengemplang jumlahnya jauh lebih kecil dari yang sewajarnya mereka bayar. Itu pun masih mengemplang dua puluh tahun lebih.

"Rakyat tahu, DPD tahu, bahwa Anda seharusnya membayar lebih banyak dari itu, masak ditagih yang sesuai dengan ada di catatan saja masih mau mangkir? Kami buru sampai dapat," kata Menko Polhukam itu.

Dalam pertemuan dengan para senator itu, dia mengaku mendapat laporan bahwa jumlah utang para obligor dan debitor dapat mencapai ratusan triliun rupiah, bahkan menyentuh 1.000 trilun rupiah. Namun demikian, Satgas BLBI hanya bertugas untuk menagih utang-utang para debitor dan obligor dengan merujuk Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.

Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya, Malang, yang juga Presiden Forum Dekan Ilmu-ilmu Sosial (Fordekiis), Andy Fefta Wijaya, mendukung upaya Menko Polkam dalam meminta Satgas BLBI untuk bertindak lebih tegas dan gencar menagih para obligor/ debitor BLBI. Bukan hanya pokoknya yang tercatat sebesar 110 triliun rupiah, namun sekitar 1.000 triliun rupiah.

"Para debitor dan obligor BLBI tersebut harus dipastikan membayar kewajibannya. Pemerintah selama ini sudah banyak memberikan keringanan dan kemudahan ke mereka. Oleh karena itu, cara paksa sesuai aturan yang berlaku harus ditegakkan ke mereka yang masih mbalelo untuk mengembalikan uang negara tersebut. Kalau perlu, mereka dimasukkan ke tahanan apabila tiga kali pemanggilan masih mangkir. Hal ini merupakan wewenang pemerintah untuk menjebloskan mereka ke penjara agar ada efek jeranya," kata Andy.

Dinikmati Konglomerat

Sementara itu, Pengamat Ekonomi dan Politik Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), Sasmito Hadinagoro, yang ikut hadir dalam pertemuan Menko Polhukam dan DPD mengatakan bahwa ada dua masalah terkait BLBI, yakni bantuan likuiditas kepada konglomerat pemilik bank dan ada masalah pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan.

"Dua-duanya merugikan negara dan menguntungkan konglomerat. Bantuan likuiditas nilainya segitu, tapi ini masih ada masalah soal pemberian aset oleh obligor, perhitungan nilai aset itu belum beres. Aset yang diberikan itu, kemudian dijual dan penjualan aset itu patut diduga ada unsur menyalahi hukum seperti terkait obligor besar BCA, Anthony Salim," kata Sasmito.

Obligor besar seperti Anthony Salim, menurut Sasmito, membuat masalah ikutan BLBI gate karena kemudian ada penjualan BCA pada 2003 dengan aset dinilai oleh akuntan publik senilai 117 triliun rupiah pada Desember 2002, namun saat sahamnya diprivatisasi 51 persen hanya senilai lima triliun rupiah. Padahal, BCA juga memegang obligasi rekap senilai 60 triliun rupiah yang mendapat pembayaran bunga atau kupon dari pemerintah enam triliun rupiah setahun.

"Jadi, setahun sudah balik modal, malah untung satu triliun rupiah pada saat membeli. Ini patut diselidiki lebih lanjut oleh penegak hukum, seperti Kejaksaan Agung, Polri, dan KPK bisa menyelidiki unsur pidana di sana," kata Sasmito.

Masalah lainnya yang lebih memberatkan keuangan negara yaitu pembayaran bunga obligasi rekap senilai 60 triliun rupiah per tahun selama 21 tahun. Hal itu berarti pajak yang dibayar oleh rakyat sudah keluar 1.000 triliun rupiah lebih kepada para konglomerat pemilik bank.

"Ini mau sampai kapan tidak jelas dan siapa yang akan membayar kembali uang dikeluarkan dari pajak rakyat ini. Belum lagi patut diduga ada masalah kelebihan bayar rekap pada Bank Mandiri senilai 76 triliun rupiah atau tujuh triliun rupiah setahun lebih bayar rekap ke Mandiri. Setelah itu, obligasi rekapnya dijual ke Standard Chartered yang ini namanya maksa negara bayar karena kalau tidak bayar bisa dipermasalahkan di dunia internasional," papar Sasmito.

Masalah-masalah tersebut, menurut Sasmito, harus juga diselesaikan oleh Satgas BLBI sehingga bangsa ini bisa lepas dari beban masa lalu.

Pengamat Ekonomi, Mamit Setiawan, juga meminta Satgas menelusuri piutang BLBI yang sebenarnya bisa mencapai 1.000 triliun rupiah lebih.

"Bayangkan kalau 1.000 triliun rupiah ditagih, bisa menutupi pembayaran utang negara yang jumlahnya saat ini hampir mencapai 6.000 triliun rupiah," tutup Mamit.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top