Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Neraca Perdagangan - Pembukaan Pasar Baru Perlu dan Tidak Bertumpu ke Mitra Utama

Surplus Terus Menurun, Pertanda Ekonomi Nasional Hadapi Masalah Serius

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Surplus neraca perdagangan dalam beberapa bulan terakhir terus menurun.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan barang Indonesia pada Juli 2024 surplus 0,47 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau turun sebesar 1,92 miliar dollar AS secara bulanan.

Pelaksana Tugas Kepala BPS, Amalia A. Widyasanti, dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis (15/8), menyatakan surplus pada Juli lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya ataupun dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya.

Surplus neraca perdagangan Juli 2024, jelas Amalia, ditopang surplus pada komoditas nonmigas sebesar 2,61 miliar dollar AS dengan komoditas penyumbang surplus utama adalah bahan bakar mineral, terutama batu bara, lemak dan minyak nabati, serta besi dan baja.

Pada saat yang sama, neraca perdagangan komoditas migas tercatat defisit 2,13 miliar dollar AS dengan komoditas penyumbang defisit adalah hasil minyak dan minyak mentah.

"Defisit neraca perdagangan migas pada Juli 2024 lebih dalam dari bulan sebelumnya ataupun bulan yang sama tahun lalu," kata Amalia.

BPS, tambahnya, juga mencatat Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan dengan beberapa negara, dan tiga terbesarnya adalah AS senilai 1,27 miliar dollar AS, India 1,23 miliar dollar AS, dan Filipina 740 juta dollar AS.

Indonesia juga mencatat defisit neraca perdagangan dengan beberapa negara.

Adapun tiga terdalam, yaitu Tiongkok sebesar 1,7 miliar dollar AS, Australia sebesar 602 juta dollar AS, dan Singapura 402 juta dollar AS.

Secara kumulatif hingga Juli 2024, surplus neraca perdagangan barang Indonesia mencapai 15,92 miliar dollar AS atau mengalami penurunan 5,28 miliar dollar AS dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.

Masalah Serius

Peneliti Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, yang diminta pendapatnya mengatakan laporan BPS ini menandakan ekonomi nasional sedang mengalami masalah serius, dan pemerintah semestinya cepat mengatasi agar tidak berlangsung lama.

"Ini harus dilihat secara hati-hati mengingat pertumbuhan impor jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekspor secara total," urai Huda.

Dia pun menyoroti impor nonmigas yang meningkat 19,76 persen secara month to month (mtm).

Impor dari Tiongkok memang masih mendominasi dan kebijakan menangkal tersebut baru saja disahkan, sehingga belum terlihat efeknya.

Jika kondisi tersebut terus berlanjut bisa menyebabkan kondisi defisit perdagangan pertama kali dalam 52 bulan terakhir.

"Ini selanjutnya bisa menyebabkan pelemahan nilai mata uang rupiah lebih tajam," kata Huda.

Ia menyarankan pemerintah agar secepatnya melakukan sejumlah langkah strategis, yang pertama dengan menggenjot ekspor terutama komoditas nonmigas yang memang jadi andalan.

"Perlunya pembukaan pasar baru sehingga tidak mengandalkan traditional market seperti AS dan Jepang yang memang tengah mengalami goncangan ekonomi," ungkapnya.

Langkah kedua adalah pembatasan impor untuk produk-produk tertentu melalui Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) maupun Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP).

Pada kesempatan terpisah, pakar Hubungan Internasional dari Universitas Airlangga Surabaya, Citra Hennida, mengatakan turunnya surplus neraca perdagangan harus diantisipasi dengan diversifikasi pasar, terutama dengan melirik negara- negara yang potensial membutuhkan produk-produk ekspor RI.

"Pemerintah hendaknya jangan terus bertumpu pada negara-negara tujuan ekspor utama, seperti AS, Tiongkok, dan Singapura.

Kita juga harus mulai mencari pasar-pasar baru yang potensial sebagai tujuan ekspor," kata Citra.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top