Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Sektor Pertanian I Irigasi Berkontribusi 20-30% dalam Peningkatan Produktivitas Padi

Sulit Memacu Produktivitas Pangan dengan Saluran Irigasi yang Buruk

Foto : ANTARA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Fasilitas irigasi merupakan kunci untuk kemajuan sektor pertanian dan pada akhirnya akan mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Kementerian Pertanian Kementerian Pertanian, Ali Jamil, mengatakan dengan irigasi yang baik maka pengelolaan lahan lebih maksimal.

Hal itu disampaikan Ali saat meninjau fasilitas pompa irigasi di beberapa kelompok tani di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada Selasa (27/2). Berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat, sekitar 320 hektare lahan di daerah tersebut tidak dapat diolah secara maksimal karena rusaknya Bendungan Sidadap.

Menanggapi kondisi tersebut, Guru Besar Fakultas Pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan faktor irigasi mempunyai kontribusi pada peningkatan produktivitas padi berkisar antara 20-30 persen. Dengan kondisi saat ini hampir 60 persen jaringan irigasi padi pada rusak maka sulit untuk meningkatkan produktivitas padi di petani.

Perbaikan memang telah dilakukan oleh pemerintah, namun sebatas pada jaringan primer dan sekunder. Padahal yang banyak rusak adalah pada jaringan tersier dan quarter yang langsung ke lahan petani. Akibatnya, yang sekarang tampak adalah mundurnya musim tanam dari Desember ke Januari-Februari sehingga di tingkat petani saat ini gabah langka atau jarang sehingga harga gabah meningkat, yang kemudian memicu kenaikan harga beras.

"Petani yang bisa menanam tepat waktu adalah mereka yang lahannya masih dilalui irigasi teknis yang masih lancar pengairannya. Hanya saja, lahan yang demikian ini kan sangat sedikit, makanya jumlah gabah yang bisa dipanen sangat terbatas dan relatif sedikit," papar Dwijono.

Rekan Dwijono, Sigit Supadmo Arief, Guru Besar Teknik Irigasi Fakultas Teknologi Pertanian UGM, membenarkan kalau mayoritas jaringan irigasi yang rusak adalah jaringan tersier dan quarter yang langsung mengarah ke sawah-sawah petani.

Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2019, maka seluruh sistem irigasi menjadi kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), mulai sumber air, waduk atau bendungan dan bendung (berfungsi menaikkan air saja bukan menyimpan berbeda dengan bendungan), hingga tersier, sekarang sudah menjadi tanggungjawab dan kewenangan pemerintah dalam hal ini Kementerian PUPR.

"Itu perintah UU, jadi bukan lagi tanggung jawab petani. Namun memang karena terbatasnya anggaran, sampai sekarang nyatanya belum banyak perbaikan," kata Sigit.

Pengambilan tanggung jawab jaringan irigasi hingga quarter oleh Kemen PUPR, menurut Sigit, sebenarnya hal bagus karena sebelumnya perbaikan irigasi ini banyak jadi proyek di banyak kementerian sampai desa. Kementan, PUPR, Kemendes, sebelumnya terlibat dalam proyek jaringan irigasi tersier dan quarter, dan sekarang dijadikan satu di Kemen PUPR.

"UU ini sudah baik. Tinggal penganggaran dan pelaksanaan saja. Saya dengar akan keluar peraturan pemerintah tentang pembagian kewenangan antara kabupaten, provinsi dan pusat berdasar luas lahan satuan daerah irigasi. Daerah irigasi di bawah 500 hektare milik kabupaten, 500-2000 tanggung jawab provinsi, dan selebihnya pusat," papar Sigit.

Pompa Otomatis

Pakar pertanian dari UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan ketersediaan air dan sistem irigasi yang baik memang syarat utama untuk mencapai kemajuan pertanian yang pada akhirnya akan menyejahterahkan petani.

"Sistem irigasi yang baik adalah syarat mutlak budi daya pertanian karena tanaman tidak bisa tumbuh dengan sehat kalau kekurangan air. Seperti revolusi industri, teknologi pertanian juga harus mulai menapak ke 4.0, termasuk irigasinya.

Dengan pompa yang otomatis memompa air jika kadar kelembapan tanah sedang di bawah ambang batas. "Kita juga bisa meniru Jepang yang sangat maju pertaniannya, dengan sistem irigasi yang sangat efisien. Air dialirkan dengan pompa yang kuat dari sungai ke tempat penampungan, lalu dialirkan ke sawah-sawah dengan pipa yang tertanam. Petani pemilik sawah dapat membuka tuas untuk mengairi lahannya. Pembagian air dilakukan bergilir sehari keluar sehari tutup, dan sesuai dengan kebutuhan sawah setempat.

Sementara itu, Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan tata kelola air semestinya demokratis dan berkelanjutan sejalan dengan nilai-nilai sosial budaya, kearifan lokal, dan melibatkan institusi masyarakat adat/lokal.

Dia mencontohkan penerapan sistem irigasi subak di Bali yang merupakan kearifan lokal dan manifestasi dari filosofi/konsep Tri Hita Karana. Dia juga menyoroti bendungan di Indonesia yang belum sebanding dengan kebutuhan. Dibanding Tiongkok yang memiliki 98.000 bendungan dan Korea yang punya 17.800 bendungan, maka Indonesia masih ketinggalan.

Kementerian PUPR menyebutkan RI butuh 300 bendungan baru untuk antisipasi krisis air dan dampak perubahan iklim. Sedangkan dalam 10 tahun terakhir, Kementerian PUPR sudah membangun 60 bendungan untuk mencapai 100 persen ketahanan air.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top