Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kemandirian Ekonomi I Pemerintah Tidak Kunjung Atasi Biaya Tinggi Sektor Pertanian

Sulit Berdikari kalau Kebijakan Impor Malah Direlaksasi

Foto : ISTIMEWA

Achmad Maruf Pengamat Ekonomi dari UMY - Kita harus belajar dari kasus-kasus tersebut dan memastikan kebijakan perdagangan yang diambil benar-benar mendukung kemandirian ekonomi dan melindungi industri dalam negeri, terutama industri yang masih rentan dan membutuhkan perlindungan.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kebijakan para pembantu presiden terutama menteri-menteri yang berasal dari partai politik (parpol), menjelang akhir masa pemerintahan Jokowi-Maruf Amin sering kali kontroversial. Misalnya, kebijakan relaksasi perdagangan seperti diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Kebijakan tersebut menurut pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, sangat bertentangan dengan komitmen pemerintah yang sejak awal disampaikan berulang kali oleh Presiden Jokowi untuk menciptakan kemandirian ekonomi Indonesia.

Menjelang akhir-akhir pemerintahan, kebijakan para pembantu presiden itu justru menunjukkan langkah yang bertentangan dengan visi tersebut.

"Bagaimana mungkin kita bisa berdikari dalam ekonomi jika kebijakan impor justru dilonggarkan?" tanya Achmad.

Negara ekonomi terbesar dunia saja seperti Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok bahkan berseteru tentang industri mobil listrik dengan menggunakan diplomasi ekonomi untuk melindungi industri dalam negeri mereka.

AS bahkan tidak segan-segan menaikkan tarif impor untuk melindungi produsen lokal mereka. Langkah itu menunjukkan bahwa bahkan negara dengan ekonomi besar pun tidak segan-segan mengambil langkah proteksionis ketika diperlukan untuk melindungi kepentingan nasionalnya.

Tidak jarang, kebijakan impor di Indonesia justru menimbulkan kecurigaan publik karena sering kali diwarnai oleh kasus-kasus moral hazard seperti adanya fee atau sejenisnya.

"Kita harus belajar dari kasus-kasus tersebut dan memastikan kebijakan perdagangan yang diambil benar-benar mendukung kemandirian ekonomi dan melindungi industri dalam negeri, terutama industri yang masih rentan dan membutuhkan perlindungan," jelasnya.

"Relaksasi impor pada komoditas yang belum memiliki daya saing yang kuat di pasar internasional dapat menjadi bumerang bagi produsen lokal," katanya.

Hal itu, katanya, bukan hanya tentang angka-angka dalam neraca perdagangan, tetapi juga tentang nasib para pekerja dan keberlangsungan industri di dalam negeri. Industri tekstil, misalnya, yang sudah menghadapi berbagai tantangan berat dan akan semakin tertekan jika kebijakan impor tidak diatur dengan cermat.

Tidak Diimplementasikan

Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan Indonesia sebenarnya sudah punya rencana jangka panjang yang sangat baik, diawali dulu rencana pembangunan lima tahun (Repelita), dan sekarang rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN).

"Namun, implementasinya tidak seperti realisasinya. Contoh dalam rencana jangka panjang dulu sudah ditetapkan, pertama, membangun industri dalam negeri yang bisa substitusi impor," tegasnya.

Tentu, kata Esther, akan diproteksi di tahap awal sebelum dilepas ke pasar setelah dinilai mampu berkompetisi. Bahkan, kalau produknya sudah kompetitif, didorong untuk merambah pasar ekspor. Namun, realisasinya saat ini, kebijakan jangka dan solusi jangka pendek justru mengandalkan produk impor dari luar negeri.

Bukan hanya industri mobil, tekstil, bahkan bahan pangan pun di impor dari luar, sehingga sudah saatnya mengurangi kebergantungan dengan luar negeri. "Apalagi situasi nilai tukar yang berfluktuasi," tegas Esther.

Caranya, hanya dengan membangun industri dalam negeri dan menciptakan swasembada pangan.

Pengamat perdesaan dari Universitas Brawijaya Malang, Imron Rozuli, mengatakan bukan hanya industri yang terdampak dari relaksasi impor, tetapi juga sektor pertanian lokal. Harga beras lokal lebih mahal dari beras impor karena pemerintah membiarkan praktik dumping, dan tak kunjung mengatasi ekonomi biaya tinggi sektor pertanian.

"Praktik dumping atas beras impor menyebabkan beras impor lebih murah. Sementara di sisi lain, produksi pertanian kita masih berbiaya tinggi," kata Imron.

Biaya produksi yang mahal terjadi karena mulai bibit dan pupuk sebagai instrumen utama produksi padi, pola pupuk subsidinya sampai sekarang tidak efektif.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top