Suku Bunga Tinggi Jadi Tantangan Ekonomi Sepanjang 2023
Foto: Sumber: Federal Reserve – Litbang KJ/and - KJ/ONES» BI perlu menaikkan suku bunga hingga 150 bps lagi untuk memperlebar spread bunga dengan Fed.
» Sektor riil harus tetap hidup dengan memberi mereka insentif, meningkatkan efisiensi dan menyalurkan KUR.
JAKARTA - Perekonomian global sepanjang 2023 mendatang diperkirakan akan dihadapkan pada tantangan suku bunga yang tinggi seiring dengan kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve untuk memerangi inflasi.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memperkirakan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) akan mencapai puncak sebesar 5 persen pada kuartal I-2023, dengan risiko yang lebih tinggi di mana FFR bisa mencapai 5,25 hingga 6 persen.
"Peningkatan suku bunga The Fed akan bertahan sepanjang 2023. Untuk baseline dengan puncak suku bunga The Fed sebesar 5 persen, paling cepat turun menjadi 4,75 persen pada akhir 2023," kata Perry dalam webinar Proyeksi Ekonomi Indonesia yang dipantau di Jakarta, Senin (5/12).
Dengan peningkatan suku bunga acuan The Fed, ia memperkirakan penguatan mata uang dollar AS akan berlanjut pada 2023 sehingga memberi tekanan terhadap nilai mata uang hampir seluruh negara di dunia, termasuk rupiah.
"Indeks dolar AS pernah mencapai 114 terhadap mata uang asing, menguat kurang lebih sebesar 25 persen (yoy), beberapa minggu ini mulai melemah indeks dollar sekitar 106," katanya.
Penguatan dollar AS ke depan akan bergantung pada inflasi, kenaikan suku bunga The Fed, dan bagaimana The Fed menyeimbangkan kenaikan suku bunga acuan dengan risiko resesi.
Menurut Perry, nilai tukar rupiah akan tetap kuat pada 2023 karena didukung oleh perekonomian nasional yang tetap tumbuh sekitar 4,7 sampai 5,3 persen.
Sepanjang 2022, BI jelasnya telah melakukan berbagai upaya untuk menjaga nilai tukar rupiah untuk menahan imported inflation sehingga depresiasi nilai tukar rupiah hanya mencapai sekitar 9 persen.
"Ini lebih rendah dari penguatan dollar AS yang rata-rata hampir mencapai 20 persen. Ini hasil dari sinergi fiskal dan moneter untuk mengendalikan inflasi dari gejolak harga inflasi pangan dan global," jelas Perry.
Perlu Diwaspadai
Menanggapi kondisi sektor keuangan global itu, Ekonom Celios, Bhima Yudisthira mengatakan, kenaikan suku bunga the Fed secara kontinyu bisa berdampak pada menyempitnya spread (selisih) suku bunga surat berharga negara (SBN) dengan US Treasury.
"Ini perlu diwaspadai karena menimbulkan gejolak pada nilai tukar rupiah, sehingga BI perlu menaikkan suku bunga hingga 150 basis points (bps) lagi untuk memperlebar spread bunga dengan Fed," kata Bhima.
Era bunga mahal terangnya memang perlu diantisipasi karena berdampak pada pelambatan pertumbuhan kredit perbankan sehingga menghambat momentum pemulihan ekonomi. "Tahun depan proyeksi pertumbuhan bisa di bawah empat persen year on year,"ungkap Bhima.
Pemerintah terangnya bisa ikut menjaga stabilitas kurs rupiah dengan memperkuat kinerja ekspor manufaktur, perbaikan kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) ditambah penguatan bilateral swap mata uang lokal.
Dari sisi fundamental ekonomi pemerintah sebaiknya menjaga penyaluran kredit subsidi terutama ke Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Imron Mawardi mengatakan bahwa perkiraan suku bunga acuan AS tersebut memang sudah bisa diduga karena the Fed sudah memberi sinyalemen ke pasar dengan memaparkan indikator ekonomi lainnya seperti inflasi.
"Prediksi itu sangat mungkin melihat kebijakan dan pernyataan The Fed selama ini dalam menyikapi tingkat inflasi yang tinggi. Ini pasti direspon oleh BI dengan kebijakan suku bunga. Karena dengan tingkat bunga yang tiggi di AS akan sangat menjanjikan untuk investasi di sana. Untuk mencegah capital outflow agar return real investasiny terjaga, maka BI akan bersikap dan ini berdampak pada perekonomian nasional," kata Imron.
BI 7-Day Reverse Repo Rate tambahnya pasti akan meningkat. Kalau naik, maka tingkat jaminan meningkat, sehingga bunga simpanan juga naik. Dengan bank ambil split, maka berdampak kurang bagus bagi dunia usaha.
"Sebab itu perlu diantisipasi oleh pemerintah, perlu dipikirkan agar sektor real tetap hidup dengan berbagai insentif, efesiensi, dan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk mendorong ekspor," tutup Imron.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Kasad: Tingkatkan Kualitas Hidup Warga Papua Melalui Air Bersih dan Energi Ramah Lingkungan
- 2 Trump Menang, Penanganan Krisis Iklim Tetap Lanjut
- 3 Tak Tinggal Diam, Khofifah Canangkan Platform Digital untuk Selamatkan Pedagang Grosir dan Pasar Tradisional
- 4 PLN Rombak Susunan Komisaris dan Direksi, Darmawan Prasodjo Tetap Jabat Direktur Utama
- 5 Sosialisasi dan Edukasi yang Masif, Kunci Menjaring Kaum Marjinal Memiliki Jaminan Perlindungan Sosial
Berita Terkini
- BMKG Minta Warga Waspada Dampak Siklon Tropis Man-Yi di Filipina
- Panglima TNI Kirim Bantuan untuk Korban Erupsi Lewotobi
- Ronaldo Doakan Amorim Sukses Jadi Pelatih di Manchester United
- Dukung Ketahanan Pangan, Pasukan Brimob Mengolah Lahan Tidur Ditanami Jagung
- Ini Rute Khusus ke Lokasi Debat Ketiga Pilkada Jakarta pada Minggu