Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Subsidi "Output" Pertanian

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Andhika Rakhmanda

Delapan bulan menjelang perhelatan pemilihan presiden dan legislatif, perang narasi telah dimulai. Para kandidat dipoles sedemikian rupa dengan narasi-narasi yang mencitrakan mereka sosok peduli dan berpihak pada rakyat. Ada narasi identitas yang belakangan menjadi ingar-bingar dalam jagat media sosial.

Dalam narasi ekonomi rakyat, petani dan sektor pertanian biasanya selalu muncul paling depan. Politisasi petani memang bukan barang baru. Slogan-slogan reformasi agraria, swasembada pangan, hingga kesejahteraan petani seringkali dijadikan komoditi dalam kampanye-kampanye yang digalakkan para elite politik. Realisasi dari janji tersebut biasanya berupa subsidi kepada petani.

Pemberian subsidi ke petani merupakan salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian yang telah lama dilakukan dengan cakupan yang massal. Pemberian subsidi tidak saja didasarkan oleh pertimbangan ekonomi, tapi juga karena desakan dan dorongan sosio-politik.

Hanya, beberapa kebijakan dinilai kurang tepat. Misalnya, berbagai penelitian menyatakan bahwa penggunaan pupuk pada usaha tani sawah telah berlebihan, sehingga pemberian subsidi harga pupuk akan memperparah keadaan. Namun, pemberian subsidi pupuk terus mendapat dukungan politik karena dipandang akan menolong petani yang sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan.

Sejak program Bimas Nasional Tahun 1969, pemerintah menyediakan kredit dengan bunga rendah dan sarana produksi utama (bibit unggul, pupuk, dan pestisida) dengan harga yang disubsidi. Kebijakan subsidi harga input ini dipadukan dengan kebijakan stabilisasi harga output melalui penetapan harga dasar gabah dan pengamanannya oleh Bulog.

Setiap tahun, sebelum masa tanam musim hujan, pemerintah menetapkan harga pupuk kimia, pestisida, bibit unggul, dan harga dasar gabah. Ini semua sebagai insentif untuk mendorong adopsi teknologi dan peningkatan produksi padi.

Penuruan pemberian insentif dimulai pada akhir tahun 1980-an. Kebijakan tersebut diawali dengan penghapusan subsidi pestisida, pengurangan subsidi pupuk K, dan irigasi (Simatupang & Rusastra, 2004). Kebijakan insentif bagi petani padi yang masih dipertahankan adalah harga dasar gabah. Namun, kebijakan ini tidak sepenuhnya efektif karena gabah yang ditampung di Bulog hanya berkisar 5-7 persen dari total produksi petani. Akhir-akhir ini malah terjadi disinsentif. Sebab harga pasaran gabah dan beras sudah lebih tinggi dari harga pembelian pemerintah (HPP).

Subsidi pupuk kadang tidak bermakna, karena proporsi biaya usaha tani dari komponen pupuk tidak besar. Pernah timbul debat antara subsidi untuk pupuk versus subsidi gas untuk pabrik pupuk. Karena banyak kepentingan bermain di area ini, maka pernah juga disarankan untuk "mengembalikan subsidi pupuk kepada petani." Satu hal yang belum pernah dicoba secara serius adalah subsidi harga output, walaupun banyak pihak yang menyuarakannya.

Input

Sedang subsidi input bentuknya adalah subsidi benih, pupuk, bantuan traktor untuk olahan tanah, dll, maka dalam subsidi output, pemerintah membayar sekian rupiah dari tiap kilo produksi petani. Penyaluran subsidi output dapat langsung ke petani melalui kelompok tani (gapoktan). Sementara itu, pada subsidi input, penyaluran dana subsidi ke produsen penyedia sarana produksi, yakni pabrik pupuk, produsen benih, dan pabrik pestisida sehingga subsidi kurang dirasakan petani.

Jika subsidi output yang dipilih, maka benih dan pupuk serta sarana produksi lain dapat dicari sendiri dan dapat lebih tepat sesuai dengan kebutuhan petani. Masalah yang terjadi dalam pola subsidi input selama ini, benih dan pupuk yang disubsidi seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan petani.

Selama ini pemerintah dan penyuluh mendistribusikan benih dan pupuk yang telah disediakan dengan anggaran pemerintah. Pada subsidi output, penyuluh dapat memberi informasi di mana petani dapat membeli input produksi dengan harga dan kualias yang baik.

Terakhir, pola subsidi output dapat mempersempit ruang korupsi yang bisa terjadi pada subsidi input dengan modus fee nilai proyek, penggelembungan harga benih, manipulasi jumlah benih yang telah disebarkan, manipulasi harga ekonomi pupuk, penggelembungan biaya beli gas untuk bikin pupuk urea, dll.

Kini, berbagai pihak menanti keberanian para calon pemimpin yang akan berkontestasi dalam Pemilu 2019 untuk menggagas subsidi output sebagai langkah fundamental dalam membenahi sektor pertanian. Tahun lalu, Kementrian Pertanian mengklaim produksi beras dalam negeri surplus 17 ton.

Namun, di satu sisi, Bulog malah mengimpor 500 ribu ton. Sebab tidak mampu membeli beras petani yang harga pasarnya di atas HPP. Pola subsidi harga output akan membantu Bulog dalam menyerap beras yang dimiliki petani, sehingga cita-cita swasemba pangan dapat tercapai.


Penulis Alumnus Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta

Komentar

Komentar
()

Top