Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pelestarian Lingkungan

Studi: Mengganti Daging dengan Produk Nabati Dapat Mengurangi Emisi GRK

Foto : STRINGER / AFP

Seorang perempuan mengamati harga daging sapi di supermarket, Buenos Aires, Argentina, beberapa waktu lalu. Mengganti daging sapi akan memberikan sekitar setengah dari pengurangan emisi yang dicapai melalui penurunan konsumsi keempat produk hewani.

A   A   A   Pengaturan Font

PARIS - Sebuah penelitian yang diterbitkan Selasa (12/9) menyebutkan mengganti separuh produk daging babi, ayam, sapi, dan susu yang dikonsumsi dengan produk nabati dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) global dari sektor pertanian dan penggunaan lahan terkait hingga hampir sepertiganya, dan secara virtual menghentikan hilangnya hutan.

Dikutip dari The Straits Times, studi tersebut menyebutkan pertumbuhan populasi dan pendapatan yang lebih tinggi diperkirakan akan meningkatkan permintaan global terhadap produk-produk hewani utama ini, yang dapat membawa dampak buruk terhadap lingkungan.

Hutan ditebangi untuk memberi jalan bagi ternak dan biji-bijian yang dibutuhkan untuk memberi makan mereka, sementara sapi mengeluarkan metana, gas rumah kaca yang mempunyai efek pemanasan yang jauh lebih kuat daripada karbon dioksida.

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature Communications ini menggunakan pemodelan untuk menganalisis dampak perubahan pola makan di seluruh dunia menuju alternatif nabati selain daging babi, sapi, ayam, dan susu dengan nilai gizi yang sama.

Laporan ini menyatakan emisi gas rumah kaca yang terkait dengan pertanian dan penggunaan lahan dapat dikurangi sebesar 31 persen pada 2050 dibandingkan dengan tingkat emisi pada tahun 2020 jika konsumsi dikurangi setengahnya.

"Dalam skenario tersebut, jumlah lahan yang diperuntukkan bagi pertanian akan berkurang sebesar 12 persen, bukannya terus bertambah," katanya.

Lebih Sedikit Pakan

Luas hutan dan lahan alami lainnya akan tetap sama seperti 2020, karena lahan yang diperuntukkan bagi peternakan dan produksi pakan akan lebih sedikit dan tidak dibakar atau dibuka.

Peningkatan penggunaan nitrogen untuk tanaman hampir setengah dari tren yang diharapkan, sementara penggunaan air turun sebesar 10 persen.

"Peralihan besar-besaran ke makanan nabati juga akan meningkatkan ketahanan pangan global, dengan jumlah orang yang kekurangan gizi akan berkurang sebesar 31 juta pada tahun 2050," kata para peneliti.

Selain itu, hal ini akan meningkatkan keanekaragaman hayati. Luas lahan yang direstorasi dapat berkontribusi antara 13 dan 25 persen dari perkiraan kebutuhan restorasi lahan pada tahun 2030 berdasarkan target yang ditetapkan dalam perjanjian global yang disepakati pada akhir 2022.

"Penurunan ekosistem yang menopang kehidupan saat ini akan berkurang lebih dari setengahnya pada tahun 2050," ujar studi tersebut.

"Daging nabati bukan sekadar produk pangan baru, namun merupakan peluang penting untuk mencapai tujuan ketahanan pangan dan iklim sekaligus mencapai tujuan kesehatan dan keanekaragaman hayati di seluruh dunia," kata rekan penulis studi, Eva Wollenberg.

Afrika Sub-Sahara, Tiongkok, dan Asia Tenggara akan mengalami penurunan terbesar dalam hilangnya keanekaragaman hayati, sementara tingkat penyerapan karbon akan mengalami peningkatan terbesar di Afrika Sub-Sahara dan Amerika Selatan, terutama Brasil.

Pembebasan lahan pertanian khususnya akan berdampak pada Tiongkok, konsumen daging babi dan ayam terbesar di dunia.

Mengganti daging sapi saja akan memberikan sekitar setengah dari pengurangan emisi yang dicapai melalui pengurangan konsumsi keempat produk hewani.

Para peneliti memperingatkan bahwa perubahan tersebut harus mempertimbangkan pentingnya peternakan di beberapa budaya dan bagi petani skala kecil, namun mencatat bahwa perubahan iklim juga menimbulkan risiko besar bagi mereka.

Penetapan harga produk nabati akan sangat menentukan evolusi pasar, sedangkan kecepatan dan keadilan perubahan akan sangat bergantung pada kebijakan publik, kata mereka.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top