Social Commerce" Harus Diatur
JAKARTA - Pemerintah harus segera mengatur perdagangan di social commerce seperti TikTok Shop yang mengancam usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Social commerce adalah proses jual beli barang dan layanan secara langsung melalui media sosial.
Peneliti Center of Digital Economy and SMEs INDEF, Nailul Huda, menilai tak ada alasan mendesak bagi Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, untuk tidak merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020. Permendag tersebut berisi tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
"Kalau ada langah-langkah yang menghambat revisi itu mohon Menteri Zulhas untuk memanggil anak buahnya kok lama karena jujur ini sudah terlalu lama dan merugikan masyarakat," kata Huda dalam diskusi publik Project S TikTok : Ancaman atau Peluang? yang disaksikan secara daring di Jakarta, Senin (24/7).
Huda menilai Permendag Nomor 50/2020 itu sudah sangat bagus dalam mengatur perdagangan melalui e-commerce dan hanya dibutuhkan sedikit revisi untuk mengatur perdagangan melalui social commerce yang merupakan cara berbelanja mengandalkan interaksi media sosial. Melalui revisi aturan tersebut dinilainya akan memberikan level playing field yang sama antara pelaku penjualan online baik itu produk lokal UMKM maupun produk impor.
"Kita sama-sama ingin memberikan ekonomi digital yang inklusif artinya ekonomi digital ini dinikmati oleh banyak pihak, baik seller, konsumen maupun platform," ucapnya.
Lebih lanjut, Huda memaparkan sejak pandemi terdapat pertambahan pola belanja masyarakat yang bukan hanya melalui e-commerce melainkan juga social commerce. Mengutip data Global Social Market Survey pada 2021, sebanyak 30 juta orang Indonesia melakukan transaksi via daring dengan rincian 60 persen via e-commerce dan 40 persen melalui media sosial.
Penjualan TikTok di Indonesia pada 2022 mencapai 228 miliar rupiah dengan dua juta UMKM berjualan di TikTok Shop Indonesia. Platform tersebut bahkan memiliki rencana investasi 5 tahun ke depan sebanyak 10 miliar dollar AS.
Di sisi lain, produk lokal yang dijual di penjualan online relatif kecil dan persentase barang impor terus meningkat. "Impor meningkat seiring dengan adanya e-commerce boom dan social commerce boom, akibatnya banyak seller yang tidak menjual produknya sendiri," sebutnya.
Karena itu, Huda menekankan agar Mendag segera menyempurnakan Permendag Nomor 50 Tahun 2022 yang saat ini baru mengatur transaksi perdagangan.
Aplikasi Terpopuler
TikTok tercatat sebagai aplikasi media sosial yang paling populer dalam melakukan transaksi jual beli. Mengutip Survei Populix pada 2022, menunjukkan TikTok Shop merupakan aplikasi media sosial terpopuler yang juga menyediakan fitur jual beli.
Peneliti lain Center of Digital Economy and SMEs INDEF, Izzudin Al Farras menyebut penjualan produk kecantikan dan perawatan diri merek Tiongkok telah menyalip merek lokal Indonesia akibat promosi masif melalui social commerce khususnya TikTok Shop. INDEF mencatat dua produk kecantikan dan perawatan diri asal Tiongkok, yakni Skintific dan Originote mulai menyalip penjualan merek asli Indonesia seperti Scarlett dan Ms Glow pada awal 2023. Padahal pada Mei 2022, penjualan kedua merek asal Tiongkok sangat jauh dibandingkan merek lokal.
Salah satu penyebab melonjaknya penjualan di social commerce lantaran platform tersebut mampu mengolah data dari aktivitas di media sosial yang digunakan penggunanya secara spesifik per satu orang pengguna. Faktor lain adalah biaya produksi di Tiongkok yang lebih murah, sehingga bisa menawarkan produk dengan harga terjangkau dan ditambah belum adanya regulasi khusus yang mengatur penjualan di social commerce.
Redaktur : Muchamad Ismail
Komentar
()Muat lainnya