Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pendidikan Tinggi | Kurang dari 50 Persen Lulusan yang Siap Kerja

Setiap Tahun, Ratusan Ribu Lulusan Perguruan Tinggi Menganggur

Foto : ISTIMEWA

Direktur Jenderal Pembelaja­ran dan Kemahasiswaan Ke­menterian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kem­ristekdikti), Intan Ahmad.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Ratusan ribu lulusan perguruan tinggi mengganggur setiap tahunnya. Hal ini harus menjadi catatan pihak perguruan tinggi untuk bagaimana menciptakan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja.

"Jumlah lulusan perguruan tinggi setiap tahunnya mencapai satu juta jiwa, yang menganggur ada ratusan ribu," kata Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), Intan Ahmad, dalam pertemuan dengan Kopertis Wilayah III DKI Jakarta, di Jakarta, Selasa (26/6).

Intan mengakui ada lulusan perguruan tinggi yang tidak sampai tiga bulan sudah bekerja, namun ada pula kampus yang akreditasi bagus, tetapi lulusannya susah mencari kerja. "Perguruan tinggi jangan memberikan ilusi kepada calon mahasiswa," kata dia.

Intan menambahkan ada riset yang dilakukan di Eropa yang diikuti 25 negara dan 8.000 kampus. Dari hasil riset itu diketahui hanya kurang dari 50 persen yang siap bekerja.

Menurutnya, dunia kerja membutuhkan kombinasi dari keahlian yang berbeda dari sebelumnya. Tidak hanya membutuhkan calon pekerja yang cerdas, namun juga memiliki keahlian lain, seperti kepemimpinan dan juga kemampuan menulis. "Kampus perlu duduk bersama dengan dunia industri membicarakan hal ini," katanya.

Dunia kerja, kata dia, membutuhkan lulusan yang berbeda dengan yang dihasilkan kampus.

Selama ini, sistem pendidikan belum merespons revolusi industri 4.0. "Kita harus menyiapkan lulusan yang siap mengisi pekerjaan yang belum tentu ada saat ini," kata dia. Intan menambahkan, salah satu kelemahan lulusan perguruan tinggi di Tanah Air adalah lemahnya kemampuan menulis.

Menurut Intan, hal itu ada kaitannya dengan kewajiban menulis mahasiswa yang hanya saat tugas akhir. Berbeda dengan luar negeri, yang mana kewajiban menulis dilakukan setiap semester.

Selain itu, katanya, persoalan mutu masih menjadi masalah besar. Dari 333 perguruan tinggi swasta di DKI Jakarta, yang mendapatkan akreditasi A hanya 11 perguruan tinggi. "Bahkan, di antaranya ada yang terakreditasi internasional. Kualitas juga tidak kalah dari PTN. Akan tetapi, masalahnya tidak merata," kata dia.

Bangun Infrastruktur

Sementara itu, anggota Komisi X DPR, Dadang Rusdiana, meminta penyelesaian pembangunan infrastruktur berupa sarana dan prasarana di berbagai perguruan tinggi agar kampus bisa memberikan fasilitas kepada mahasiswa untuk berkegiatan.

"Kalau kita ingin mengejar peningkatan kualitas pelayanan pendidikan tinggi, maka tidak bisa kita lepaskan dari penyelesaian sarana prasarana pendidikan. Aktivitas mahasiswa tidak mungkin optimal ketika perguruan tinggi tidak bisa memberikan pelayanan yang baik," kata dia.

Menurut dia, hingga saat ini masih banyak sarana prasarana di perguruan tinggi yang mangkrak dan dikhawatirkan bisa mengganggu kualitas pembelajaran.

Dengan tidak adanya sarana dan prasarana untuk berkegiatan, menurut Dadang, mahasiswa berpotensi melakukan kegiatan lain yang bahkan menjurus pada paham-paham radikal di kampus. "Kemudian, mereka akan mencari aktivitas-aktivitas lain yang tidak relevan dengan kegiatan belajar mengajar," kata dia.

Dadang meminta Kemristekdikti untuk menanggulangi gerakan radikal di kampus yang harus dilakukan secara serius dan konstruktif, salah satunya menyelesaikan infrastruktur sarana prasarana untuk kegiatan mahasiswa.

Dadang, yang merupakan politikus Partai Hanura, juga menyatakan akan mendorong kegiatan yang konstruktif. "Kampus harus memfasilitasi kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dalam anggaran tahun 2019," kata dia. eko/Ant/E-3

Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top