Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Sensor Pendeteksi Kadar Air untuk Tanaman

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Dikembangkan oleh para insinyur di bidang lingkungan, mekanik, dan kimia, sebuah sensor diharapkan dapat menghemat hampir 35 persen konsumsi air pada area pertanian.

Sebuah tim peneliti dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat, berhasil melakukan rekayasa mekanik. Mereka mengukur kelembaban tanah dengan sensor.

Upaya ini untuk menghemat biaya dan mengatasi kebutuhan global dalam mengatur konsumsi air di lahan pertanian. Sensor ini diklaim lebih efisien dari sisi produksi dari perangkat yang pernah ada.

Dirancang dan diuji di lahan pertanian kampus, sensor yang dikembangkan para ilmuwan ini cukup kecil sehingga lebih mudah untuk dimasukkan ke dalam tanah. Tak hanya itu, sensor juga jauh lebih murah daripada teknologi yang ada saat ini.

Para peneliti sendiri menjelaskan temuan teknologi mereka dalam Journal of Sensors and Actuators. "Kemajuan dalam ilmu hidrologi terhambat oleh kurangnya data kelembaban tanah di lokasi," kata Guiling Wang, penulis studi dan profesor teknik sipil dan lingkungan di UConn.

"Sangat sulit untuk memantau dan mengukur hal-hal di bawah tanah. Tantangannya adalah bahwa sensor yang ada sangat mahal dan proses pemasangannya cukup memerlukan banyak tenaga," kata Wang.

Sensor ini dikembangkan oleh tim insinyur dari bidang lingkungan, mekanik, dan kimia di universitas Connectiut. Siharapkan mampu menghemat hampir 35 persen dari konsumsi air dan biaya yang dikeluarkan juga jauh lebih murah daripada yang ada.

Sensor serupa yang ada saat ini berkisar dari 100 dolar AS hingga 1.000 solar AS. Sedangkan sensor yang dikembangkan ilmuan di UConn berharga 2 dolar AS.

Opsi pemantauan alternatif, data kelembaban tanah yang dikumpulkan dari teknologi penginderaan jauh seperti radar dan radiometer di satelit, mengalami resolusi rendah. Tetapi teknologi baru yang dikembangkan oleh kelompok Profesor UConn Baikun Li dapat memberikan data resolusi spatio-temporal tinggi yang diperlukan untuk pengembangan model hidrologi dalam kelompok Wang.

Prototipe UConn, kabel dihubungkan dari sensor ke instrumen yang mencatat data. Para peneliti melakukan uji lapangan sensor - melakukan tes berdampingan dengan sensor komersial di bawah berbagai kondisi lingkungan selama periode 10 bulan. Efek variasi lingkungan terhadap kelembaban tanah sepanjang periode tercermin dengan jelas.

Secara kritis, sensor-sensor kecil juga dapat dengan mudah dikirim keliling dunia. Ini mengingat fakta bahwa kelembaban tanah memainkan peran mendasar dalam pengambilan keputusan pertanian secara global.

Penginderaan kelembaban tanah yang akurat sangat penting untuk memastikan tingkat air yang menghasilkan tanaman paling kuat tanpa membuang-buang sumber daya alam. Di beberapa negara bagian di AS - Florida dan California, misalnya - penggunaan air irigasi menjadi sangat terbatas.

Para peneliti UConn juga bekerja pada sensor nitrogen yang merupakan model yang sama dari sensor air. Ini akan membantu memberikan informasi kepada petani tentang kapan ladang membutuhkan pemupukan. Saat ini, sensor nitrogen tidak tersedia menggunakan jenis teknologi ini.

"Ini benar-benar awal yang menarik untuk lingkup yang jauh lebih besar dari hal-hal yang ada dalam pikiran kita," kata Li, yang juga merupakan profesor teknik sipil dan lingkungan.

Agar Air Tak Banyak Terbuang untuk Toilet

Para peneliti telah mengembangkan sebuah metode yang secara dramatis mampu mengurangi jumlah air yang dibutuhkan untuk menyiram toilet pada toilet konvensional. Biasanya, menyiram air di toilet membutuhkan 6 liter air.

Setiap hari, lebih dari 141 miliar liter air digunakan hanya untuk menyiram toilet. Dengan jutaan warga dunia, maka manusia yang mengalami kelangkaan air, dapat sikurangi.

Artinya, harapan agar jumlah penggunaan air bisa dikurangi hingga 50 akhirnya menemui titik terang. Kemungkinan tersebut cukup besar melalui sebuah penelitian yang dilakukan di Penn State.

Penelitian tersebut di dirilis di Nature Sustainability. "Tim kami telah mengembangkan lapisan anti-bakteri, cairan seperti lempung serta pengusir bakteri yang kuat yang pada dasarnya dapat membuat toilet membersihkan dirinya sendiri," kata Tak-Sing Wong, Profesor Teknik dan teknik biomedis.

Di Laboratorium Wong para peneliti telah mengembangkan metode yang secara dramatis mengurangi jumlah air yang diperlukan untuk menyiram toilet konvensional, yang biasanya membutuhkan 6 liter.

Dikembangkan bersama oleh Jing Wang, lulusan doktoral dari lab Wong, lapisan permukaan halus adalah semprotan dalam dua langkah. Semprotan pertama, dibuat dari polimer yang dicangkokkan secara molekuler, adalah langkah awal dalam membangun fondasi anti-cairan yang sangat halus dan cair.

"Ketika mengering, semprotan pertama menumbuhkan molekul yang terlihat seperti rambut kecil, dengan diameter sekitar 1.000.000 kali lebih tipis daripada manusia," kata Wang. Sementara aplikasi pertama ini menciptakan permukaan yang sangat halus, semprotan kedua menanamkan lapisan tipis pelumas di sekitar "rambut" nanoscopic untuk menciptakan permukaan yang sangat licin.

"Ketika kami meletakkan pelapis itu di toilet di laboratorium dan membuang kotoran sintetis di atasnya, (kotoran sintetis) benar-benar meluncur ke bawah dan tidak ada yang menempel padanya (toilet)," kata Wang.

Dengan permukaan baru yang licin ini, toilet dapat secara efektif membersihkan residu dari dalam mangkuk dan membuang limbah hanya dengan sebagian kecil dari air yang sebelumnya dibutuhkan.

Para peneliti juga memperkirakan pelapisan bisa bertahan selama sekitar 500 flushes di toilet konvensional sebelum aplikasi lapisan pelumas diperlukan.

Sementara permukaan licin yang diinfuskan cairan lainnya dapat membutuhkan waktu berjam-jam, pelapisan dua langkah membutuhkan waktu kurang dari lima menit.

Eksperimen para peneliti juga menemukan permukaan secara efektif menolak bakteri, terutama yang menyebarkan penyakit menular dan bau tidak sedap.

Jika itu diadopsi secara luas di Amerika Serikat, itu bisa mengarahkan sumber daya kritis ke kegiatan penting lainnya, ke daerah yang dilanda kekeringan atau ke daerah yang mengalami kelangkaan air.

Didorong oleh solusi kemanusiaan ini, para peneliti juga berharap pekerjaan mereka dapat memberikan dampak di negara berkembang. Teknologi ini dapat digunakan di toilet tanpa air, yang digunakan secara luas di seluruh dunia.

"Kotoran yang menempel di toilet tidak hanya tidak menyenangkan bagi pengguna, tetapi juga menimbulkan masalah kesehatan yang serius," kata Wong.

Namun, jika toilet tanpa air atau urinoir menggunakan lapisan khsusu ini, tim memperkirakan jenis perlengkapan ini akan lebih menarik dan lebih aman untuk digunakan secara luas.

Untuk mengatasi masalah ini baik di Amerika Serikat dan di seluruh dunia, Wong dan rekan-rekannya, Wang, Birgitt Boschitsch, dan Nan Sun, memulai usaha baru mereka ini untuk membawa lapisan ini ke pasar dengan dukungan dari sejumlah lembaga.

"Tujuan kami adalah untuk membawa teknologi yang berdampak ke pasar sehingga semua orang bisa mendapat manfaat," kata Wong. "Untuk memaksimalkan dampak teknologi pelapisan kami, kami harus mengeluarkannya dari lab." Tambah Wong.

Ke depan, tim berharap spotLESS Material ini akan memainkan peran dalam mempertahankan sumber daya air dunia dan terus memperluas jangkauan teknologi mereka.

"Sebagai seorang peneliti dalam lingkungan akademik, tujuan saya adalah untuk menciptakan hal-hal yang semua orang dapat manfaatnya," kata Wong. nik/berbagai sumber/E-6

Komentar

Komentar
()

Top