Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Seniman ini Pernah Mendapatkan Pelecehan Seksual, Kini Karyanya Terpajang di Singapura

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Seniman punya cara sendiri dalam membagikan isi hati, imajinasi bahkan kritik sosial mereka melalui sebuah karya. Contohnya pelukis melalui lukisan, penyanyi dengan lirik lagu begitu juga dengan perupa yang menginterpretasikannya lewat patung.

Salah satunya pameran yang dibuat oleh Gajah Gallery dengan tema I Gusti Ayu Kadek (GAK) Murniasih: Shards of My Dreams That Remain in My Consciousness, kegiatan ini dimulai dari tanggal 15 Juli sampai 15 Agustus 2021 bertempat di jalan 39 Keppel Road Tanjong Pagar, Singapura.

Pameran ini diadakan untuk memperingati lima belas tahun wafatnya I Gusti Ayu Kadek Murniasih, yang juga dikenal sebagai 'Murni', dalam pameran ini menunjukan lebih dari 50 lukisan dan patung yang dibuat selama satu dekade karir seninya yang sangat imajinatif, mulai dari pertengahan 1990an hingga 2006.

Gajah Gallery mempersembahkan pameran tunggal yang komperhensif bagi seniman pelopor Bali ini. Karya seni Murni terkait erat dengan kehidupannya yang tragis namun berani.

I Gusti Ayu Kadek (GAK) Murniasih lahir di Tabanan, Bali, 1966 pernah mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh ayahnya sendiri ketika Murni masih belia. Kemudaia Murni mengikuti keluarganya untuk pindah ke Makassar. Namun ia memilih untuk meninggalkan Ujung Pandang (Makassar) pada usia 20'an dan memutuskan untuk kembali ke Bali dan bekerja sebagai kriyawati perak di celuk, Gianyar.

Dari pekerjaan disana ia bertemu dengan suaminya. Namun, hubungan rumah tangganya tidak berjalan harmonis mulai ada keretakan didalam rumah tangganya, berawal dari kemandulan Murni, sehingga suaminya ingin menikahi perempuan lain.

Namun ia menolak untuk berada di dalam sebuah hubungan poligami, Murni disinyalir menjadi perempuan penggugat cerai pertama di Bali. Setelah perceraiannya, Murni membangkitkan kembali ketertarikannya akan seni dan menjadi seorang seniman.

Murni belajar melukis oleh I Dewa Putu Mokoh, seorang seniman veteran bergaya lukis Pengosekan. Namun, Murni akhirnya menemukan gayanya sendiri yang diakui oleh banyak kritikus sebagai "Seni Bali Revolusioner".

Karir Murni pada saat itu langsung berkembang pesat. Namun, harus terjegal karena didiagnosa mengidap kanker ovarium stadium akhir. Murni akhirnya kalah dalam perjuangannya melawan kanker ovarium yang ia derita.

Namun, selama hidup ia membuat karya seninya berlimpah dengan kreativitas dan imajinasi yang gila. Kendati segala kendala dan halangan yang ia alami, karya Murni tetap penuh meluap dengan semangat kreativitas dan imajinasi.

Dunia seni rupa Bali pada saat itu dikejutkan dengan Murni melalui penggambaran yang "blak-blakan" tentang tubuh perempuan, sensualitas, dan kedalaman alam bawah sadarnya secara tidak langsung melanggar adat dan tabu sosial di Bali.

Tidak seperti galeri-galeri lain di Ubud pada saat itu, galeri khusus perempuan Seniwati Gallery mengakui keunikan dan kekuatan karya-karya Murni dan membawa karyanya kedalam radar audiens internasional, menampilkannya di pameran global Hong Kong, Australia, dan Italia.

Menjelang pergantian milenium, karya-karya Murni akhirnya mencuri perhatian publik seni di negara asalnya. Ia menampilkan karyanya di ruang-ruang seni seperti Cemeti Art House, Yogyakarta, dimana karya-karyanya diinterpretasikan tidak hanya melalui lensa personal hidupnya, tetapi kaitannya dengan trauma kolektif yang terjadi di Indonesia pasca Orde Baru.

Pameran ini menampilkan evolusi karya-karya Murni sepanjang tahun aktifnya sebagai seorang seniman dari berwarna pastel di awal karirnya yang menunjukkan ciri gaya pengosekaan yang ia pelajari, hingga lukisan-lukisan yang lebih berani, lebih cerah dan diluar dugaan yang sekarang kita kenal sebagai gaya khas Murni.

Selain itu, pameran ini lebih menampilkan keluasan dan keragaman tema-tema karya Murni dari gambaran yang jujur tentang dinamika seks dan kuasa, benda-benda surealistik, makhluk dan karakter; mimpi yang hidup dan liar, hingga keinginan untuk terus mereklamasi tubuh.

Seperti yang diartikan dalam buku The Curtain Opens: Indonesia Women Artists (2007), karya Murni adalah "pernyataan-pernyataan yang menangkap perjuangan seorang wanita dari objek seksual pasif menjadi subjek seksual aktif".

Pameran ini disertai publikasi dari sejarawan seni ternama, Dr Wulan Dirgantoro dan Dr Astri Wright. Buku ini mencakup catatan mendetail biografi Murni mendiskusikan ragam tema yang sering terabaikan dalam pembacaan karya-karyanya dan mengartikulasikan posisi krusial yang patut Murni tempati di dalam sejarah seni Bali dan Indonesia.


Editor : Fiter Bagus
Penulis : Aris N

Komentar

Komentar
()

Top