Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Disparitas Pangan I Pengusaha Besar Manfaatkan Kelemahan Sistem Distribusi yang Tak Efisien

Sektor Pertanian Harus Ditata Ulang

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Negara harus melakukan intervensi terbatas guna menghilangkan sumber distorsi bisnis pangan, terutama perilaku parasit pengusaha besar.

Jakarta - Pengelolaan sektor pertanian saat ini harus ditata ulang seiring munculnya kondisi anomali di pasar, yang ditandai dengan disparitas pangan kian melebar. Sebab, kebijakan pengelolaan sektor tersebut telah menimbulkan ketidakadilan bisnis pangan.

Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri Indonesia (MAI) mengungkapkan adanya keanehan di pasar yang berlangsung alam karena pada puncak piramida bisnis pangan struktur pasarnya cenderung oligopolistik meskipun di tingkat petani struktur pasarnya sudah demokratis. Pengusaha pangan besar memanfaatkan kelemahan sistem logistik dan distribusi yang belum efisien dan rantai pasok terlalu panjang.

"Struktur pasar dan perilaku pasar belum adil dan seimbang sehingga terlihat nyata tingginya disparitas harga antara di produsen dan konsumen," ujar Ketua Umum MAI, Fadel Muhammad, di Jakarta, Minggu (23/7), melalui keterangan tertulis terkait penggerebekan Gudang Beras PTIndo Beras Unggul (IBU), di Bekasi, Jawa Barat, pada 20 Juli lalu.

Menurut Fadel, secara umum dalam bisnis pangan, yakni beras, jagung, bawang merah, cabai, gula, daging sapi, daging ayam, telur, dan minyak sawit. Dia mengungkapkan middleman atau pedagang meraup untung di atas profit normal. Bahkan, dia menilai untuk sembilan komoditas pangan strategis, para pelaku bisa memperoleh 463 triliun rupiah setahun, sementara petani memperoleh harga rendah dan profit marjin sekitar 105 triliun rupiah.

"Ini angka fantastis. Middleman telah berperilaku parasit terhadap petani. Di sisi lain, middleman ini juga menghisap konsumen. Konsumen menanggung harga mahal senilai 1.320 triliun rupiah," ujar mantan Gubernur Gorontalo itu.

Fadel menjelaskan untuk memproduksi padi 79,3 juta ton gabah kering giling atau 46,1 juta ton beras setahun diperlukan biaya sekitar 278 triliun rupiah dan petani memperoleh marjin 65,7 triliun rupiah, sedangkan pada sisi hilir, konsumen membeli beras kelas medium rerata saat ini 10.582 rupiah per kilogram (kg) setara 488 triliun rupiah.

Bila konsumen membeli beras premium, angkanya jauh lebih tinggi lagi. Sementara itu, pedagang perantara atau middleman setelah dikurangi biaya processing, pengemasan, gudang, angkutan, dan lainnya memperoleh profit marjin 133 triliun rupiah.

Kebijakan Alternatif

Untuk mengatasi disparitas pangan, kata dia, perlu kebijakan alternatif yang bersandar pada konstitusi khususnya Pasal 33 UUD 45. Negara harus melakukan intervensi terbatas guna menghilangkan sumber distorsi bisnis pangan, terutama perilaku parasit pengusaha besar.

"Kebijakan tata kelola pertanian harus ditata ulang agar petani beroleh keadilan dan mampu berpendapatan," ujarnya.

Padahal selama ini, alokasi anggaran untuk sektor pangan strategis cukup besar. Sayangnya, hal itu belum diimbangi dengan capaian hasil maksimal.

Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak awal berambisi menciptakan swasembada pangan. Karena itu, pemerintah rela meningkatkan alokasi anggaran untuk mendorong produktivitas pertanian, terutama sektor pangan strategis.

Namun, Institute for Development of Economic and Finance (Indef) mencatat besarnya anggaran tersebut ternyata belum optimal dalam mewujudkan kedaulatan pangan.

"Dalam konteks Pajale (padi, jagung, dan kedelai), misalnya, tren peningkatan anggaran di ketiga komoditas pangan ini tidak secara merata dan optimal mengakselerasi produksi," ungkap pengamat ekonomi Indef, Enny Sri Hartati, beberapa waktu lalu.mad/Ant/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Muchamad Ismail, Antara

Komentar

Komentar
()

Top