Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Sejumlah Guru Besar Beri Masukan soal Reorientasi Paradigma Pembangunan Kehutanan Indonesia Berkelanjutan

Foto : istimewa

“Expert Meeting” Reorientasi Paradigma Pembangunan Kehutanan Indonesia Berkelanjutan di Jakarta, Selasa (14/11).

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya melakukan pertemuan bersama 20 Guru Besar dan Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) guna mendapat masukan dari para akademisi mengenai Reorientasi Paradigma Pembangunan Kehutanan Indonesia Berkelanjutan.

"Kami hadir di sini untuk bersama melihat paradigma pembangunan kehutanan dan hal-hal yang mungkin bisa diidentifikasi reorientasinya," ujar Menteri Siti saat mengawali expert meeting Reorientasi Paradigma Pembangunan Kehutanan Indonesia Berkelanjutan di Jakarta, Selasa (14/11).

Menurut siaran persnya, Menteri Siti mengatakan pertemuan kali ini paling tidak dapat mengawali brainstorming dengan mengangkat referensi-referensi teoritik terlebih dulu.

"Sehingga acara ini bukan acara rapat kerja atau diskusi, tetapi agenda expert meeting, pembahasan kepakaran subtansial," katanya.

Menteri Siti mengatakan Reorientasi Paradigma Pembangunan Kehutanan Indonesia Berkelanjutan penting untuk diformulasikan saat ini. Dengan begitu dapat menjadi catatan penting untuk pengelolaan kehutanan ke depan termasuk Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN).

Pada kesempatan tersebut, Guru Besar UGM, San Afri Awang mengatakan pihaknya mengapresiasi hal-hal yang sudah dilaksanakan oleh KLHK. Banyak hal yang dilakukan, termasuk terobosan-terobosan melalui corrective actions, dan program-program lain dari KLHK selama 9 tahun.

"Untuk hal-hal yang begitu rasanya kita tidak perlu mendiskusikannya, tetapi hal-hal yang memang kita perlu kembangkan ke depan," katanya.

Sebagai pengantar, Awang berbicara mengenai RKTN, dan dokumen-dokumen perencanaan lain, yang dikaitkan dengan konteks geopolitik global pada SDGs.

Awang menyoroti 7 poin terkait RKTN yaitu penyusunan rencana makro penyelenggaraan kehutanan; penyusunan rencana kehutanan tingkat provinsi; penyusunan rencana pengelolaan kehutanan di tingkat KPH; penyusunan rencana pembangunan kehutanan; penyusunan rencana kerja usaha pemanfaatan hutan; koordinasi perencanaan jangka panjang dan menengah antar sektor; serta pengendalian kegiatan pembangunan kehutanan.

"Jadi konteks pada 7 poin tersebut perlu kita lihat ulang, apakah dia betul-betul sudah sesuai dengan RKTN tersebut, kalau tidak kita harus cari jalan keluar, mengenai kewenangan-kewenangan ini, termasuk dengan desentralisasi yang sudah berjalan," ujarnya.

Selanjutnya, masing-masing Guru Besar menyampaikan pandangan terhadap pembangunan kehutanan dan masukan untuk reorientasinya ke depan.

Dari pertemuan tersebut, Menteri Siti menyampaikan sejumlah catatan. Pertama, dalam orientasi green manufacturing, Menteri Siti mengatakan akhirnya hal tersebut menjadi sesuatu yang penting dan ini menjadi pijakan kementerian untuk ke depan.

Sebagai contoh, ketika berbicara hutan sosial, sudah ada sekarang Peraturan Presiden tentang Integrated Area Development dengan basis hutan sosial. Kita juga sudah memposisikan Taman Nasional sebagai pusat/sumber pertumbuhan ekonomi wilayah dan menjadi contoh distribusi pendapatan yang tepat, seperti di TN Komodo dan TN Gunung Ciremai.

"Hal-hal seperti ini menurut saya termasuk dari payung besarnya green manufacturing, termasuk bioprospecting, hasil hutan bukan kayu, bambu, dan lain-lain. Itu semua arahnya kalau kita kasih payung besar namanya green manufacturing," ujarnya.

Dengan demikian, poin berikutnya yaitu perlu dikembangkan pembangunan center of excelence yang menjadi sangat relevan. Centre of excellence itu untuk forest landscape management. Sebagai awal, Menteri Siti mengungkapkan KHDTK UGM dapat menjadi center of excelence di Jawa. Sebagai contoh misalnya diberi nama Center of Excelence for Forest Landscape Management.

"Karena kita mempunyai landscape yang berbeda-beda, center of excelence perlu dikembangkan di lokasi lain seperti Kalimantan dan Sumatera," katanya.

"Saya juga setuju di center of excelence kita akan uji coba bagaimana sampai pada posisi Indonesia era agroforestry. Saya sangat setuju dengan konsep itu. Kita pakai field laboratory-nya di setiap center of excellence," imbuhnya.

Selanjutnya, Menteri Siti mengatakan maka posisi hutan secara evolutif dari era Hutan Register zaman Belanda hingga 1970 an. Dan era Tata Guna Hutan Kesepakatan pada 1976- 1990 an dan era Padu Serasi dengan Tata Ruang Wilayah akhir 1990 hingga sekarang dan mungkin bisa dipatok menjadi pengembangan evolutif di era Forest and Other Land Uses (FOLU).

"Dalam konteks center of excelence ini, KLHK juga sudah mengajak kita tidak lagi pakai istilah kerja-kerja konservasi di luar kawasan konservasi. Kita menggunakan istilah konservasi dan preservasi. Untuk hal ini sedang kita perkuat dasar hukumnya," ujar Menteri Siti.

Menteri Siti juga mendorong pengembangan era Agroforestry Nusantara sebagai ciri kelola Hutan Indonesia.

Dengan pendekatan green manufacturing Menteri LHK meminta untuk dikembangkan dan dikaji tentang Borneo River Basin dengan karakter Kalimantan dan segala potensi dan gangguan yang ada terhadap ekosistem dan hutan Borneo yang luasnya 23 juta ha dan di antaranya 16 juta ha berada di wilayah Indonesia, di Kalimantan.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Marcellus Widiarto

Komentar

Komentar
()

Top