Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
gagasan

Sejarah (dan Mitos) Kemerdekaan

Foto : koran jakarta/ ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Heri Priyatmoko

Di sela-sela keriuhan soal capres-cawapres, rakyat tetap semarak merayakan hari ulang tahun kemerdekaan ke-73 Republik Indonesia. Menurut sejarawan Onghokham, buah kemerdekaan yang diraih barisan pejuang, masyarakat tak perlu berjalan menunduk-nunduk di muka para raja Jawa. Feodalisme telah tersungkur.

Kita terbebas pula dari cengkeraman kolonialisme dan imperialisme selama berabad-abad. Tanah Air bukan lagi dinakhodai toewan-toewan Walanda yang berpusat di Batavia. Boleh dibilang, kemerdekaan Indonesia merupakan pil pahit bagi komunitas Eropa yang kadung intim dengan Nusantara yang eksotik dan tempat "gabus mengapung," menyedot kekayaan untuk dibawa ke negeri mereka.

Lantaran tak mau melepaskan bangsa penghasil tanaman ekspor ini, Belanda melancarkan agresi militer pertama dan kedua dengan aksi bumi hangus. Aneka fasilitas kota dihancurkan. Menurut A Sudiardja, SJ (1996), kemerdekaan dalam kacamata filsafat dapat dibicarakan dalam hubungannya dengan kebebasan.

Memang ada nuansa berbeda antara kemerdekaan dan kebebasan. Kemerdekaan dibicarakan dalam rangka sejarah politik berkaitan dengan munculnya negara baru dan berarti sebagai keadaan tak tergantung (independency) pada negara-negara atau kekuasaan asing. Sedangkan kebebasan banyak digunakan dalam pembicaraan lebih luas. Ini menyangkut hakikat manusia dan bisa diartikan baik dalam pengertian "bebas dari" sesuatu hambatan atau kekuatan lain maupun "bebas untuk" mengungkapkan diri.

Dalam pemahaman lebih khusus, tujuan kemerdekaan membentuk negara yang adil makmur. Keadilan dan kemakmuran sebenarnya sudah termuat secara imperatif dalam pengertian negara. Histori seputar kemerdekaan Indonesia memuat penggal mitos yang menarik untuk ditelaah. Contoh, perwujudan kemerdekaan dalam catatan ahli politik John D Legge (1985) telah diramalkan Soekarno dalam pidato radio tanggal 8 Agustus 1945.

Sebagai orang yang diasuh dalam kultur Jawa, Bapak Bangsa ini merujuk ramalan Joyoboyo yang tersimpan dalam memori kolektif, yakni sebelum jagung berbuah, Indonesia sudah merdeka. Terbukti, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu tanggal 14 Agustus 1945. Penjajah yang mula-mula mengaku "saudara tua" ini, harus rela melepas kekuasaan atas koloni. Tua-Muda Ada mitos lain yang memasuki wilayah seputar penentuan hari proklamasi yang sayup-sayup terdengar.

Kisahnya bermula muncul silang pendapat antara kaum sepuh dan pemuda. Rombongan pemuda ngotot supaya tanggal 16 Agustus 1945 memproklamasikan kemerdekaan. Sementara itu, pemimpin golongan tua masih butuh rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Padahal, Sjahrir di Jakarta telah menyiapkan naskah proklamasi. Dengan perkiraan proklamasi bakal dihelat pada 15 Agustus 1945, lantas naskah yang dibuatnya disebar ke anggota gerakan di berbagai kota.

Namun, pada tanggal itu ternyata tiada proklamasi. Walhasil, Sjahrir terpaksa memberitahu "gerombolannya" bahwa proklamasi belum ditunaikan. Celakanya, Dr Soedarsono yang berada di daerah Cirebon gagal dikontak. Sampai di sini, terbit kelucuan. Dr Soedarsono telanjur menggelar proklamasi kemerdekaan di Cirebon alias membacakan naskah dari Sjahrir tersebut. Buahnya, dia diuber-uber Kenpeitai karena bertindak tak mengenakkan di mata Jepang.

Hingga kini, hidup humor di jagat sejarawan bahwa Cirebon merdeka lebih dulu dari wilayah lain. Mohamad Roem (1970) menyinggung pilihan angka "17" oleh Soekarno. Dia menuliskan perdebatan seru Soekarno dengan Wikana alasan penetapan tanggal 17, bukan 16. Menurut Soekarno, terpenting dalam peperangan dan revolusi saat yang tepat. Aja nggege mangsa, demikian pitutur manusia Jawa klasik manakala menasihati orang supaya tidak mendului waktu.

Jangan terburu nafsu dalam mencapai sesuatu. Semua ada waktunya. Begitulah makna yang tersirat. Tatkala bertandang di Saingon, Soekarno mengakui telah merencanakan seluruh pekerjaan (proklamasi) dijalankan tanggal 17. Tokoh yang piawai berpidato ini secara blak-blakan mengakui percaya mistik. Dia sulit menerangkan dengan akal sehat angka 17 lebih memberi harapan padanya. Dua hari lagi merupakan saat yang baik. Angka 17 dipercaya sebagai keramat dan "suci". Lagi pula, detik itu memasuki bulan Ramadan, waktu semua berpuasa alias prihatin.

Dengan tegas Soekarno menambahkan, hari ini adalah Jumat Legi. Diyakininya sebagai Jumat yang berbahagia dan tanggal 17. Soal ini sebagai bentuk gotak-gatuk matuk. Akan tetapi, memakai pendekatan psikohistoris, peristiwa yang diriwayatkan oleh Mohamad Roem tadi dapat dipahami sebagai potret kejiwaan Soekarno.

Bung Karno memang dikenal sebagai orang yang suka unsur mistik. Dalam konteks kepribadian, hal tersebut menjadi unsur internal yang kuat mendorongnya memutuskan dan bertindak. Ini tentu, di luar unsur eksternal seperti situasi politik yang mendesaknya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Menjadi menarik pula ditafsirkan, di luar faktor semangat kaum pemuda yang besar, ternyata Soekarno masih mempertimbangkan pula faktor irasional yang perlu diikuti dan dipertahankan. Masyarakat memang terpukau dengan kehebatan Soekarno yang dijuluki singa podium. Soekarno-Hatta maju membaca teks proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan suara rendah, perlahan dan khidmat. Persis ketika proklamasi diucapkan, pengeras suara rusak.

Padahal, panitia sudah mencoba berkali-kali. Hasilnya cukup memuaskan. Setelah diselidiki, terdapat kabel rusak lantaran terinjak massa. Majalah Intisari (1970) menurunkan goresan pena Bu Tri berjudul Tiga Hari Sekitar 17 Agustus 1945. Artikel itu melukiskan peristiwa akbar ini berlangsung sebentar dan sederhana, tanpa diguyur kemewahan. Selepas proklamasi dibacakan, airmata membasahi pipi beberapa orang. Hati diselimuti rasa gembira dan haru.

Tokoh Suwirjo terisak-isak. Begitu pula Fatmawati. Soekarno dan Hatta bersalaman. Mitos yang menyelubungi peristiwa bersejarah ini menguat. Dari kilas balik ini, menyeruak secercah pesan untuk pemerintah, jangan sampai kemerdekaan bagi kalangan cilik hanyalah mitos. Penderitaan dan kenestapaan ajeg menguntit karena kian hari kebutuhan hidup melambung. Sementara itu, dalam konteks edukasi sejarah, pengetahuan tadi perlu dipaparkan di kelas maupun didongengkan saat upacara peringatan HUT RI. Tujuannya, agar kaum muda tidak keliru mengartikan mitos dalam sejarah.

Penulis Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma

Komentar

Komentar
()

Top