Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis

Sejarah 9 Desember: Pembantaian Rawagede Jadi Saksi Kekejaman Belanda

Foto : Dok. Asia Times

Ilustrasi kekejaman pasukan Belanda terhadap pejuang kemerdekaan Indonesia.

A   A   A   Pengaturan Font

Hari ini sekitar 75 tahun yang lalu, pasukan Belanda dengan keji melancarkan apa yang kemudian dikenal sebagai tragedi pembantaian Rawagede yang membuat 431 penduduknya tewas.

Pada 9 Desember 1947, Belanda yang masih memiliki hasrat untuk menguasai Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya mengerahkan sekitar 300 pasukan untuk mengepung Desa Rawagede yang berada di perbatasan Karawang-Bekasi.

Niat hati menemukan Kapten Lukas Kustario, Komandan Kompi Siliwangi yang dikabarkan tengah bersembunyi di Desa Rawagede.

Dalam catatan Belanda, Lukas merupakan seorang bekas Bundanco (bintara) PETA yang Jepang diambil dari golongan penduduk biasa. Ia beserta pasukannya terkenal lihai menyerang tentara Belanda.

Sosoknya bahkan dijuluki Belanda sebagai 'Begundal Karawang', kepalanya dihargai sampai menyentuh angka 10 ribu gulden.

Pada tahun itu, Belanda memang mulai mencurigai langkah pasukan Republik Indonesia yang menjadikan banyak desa sebagai basis gerilya, tak terkecuali Desa Rawagede. Desa ini bahkan dianggap Belanda mendukung perjuangan mengusir Belanda, yang saat itu ingin kembali menguasai Indonesia setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II.

Pagi itu, 9 Desember 1947 terasa sangat berbeda dari hari biasanya. Sekitar pukul 04.00, 300 pasukan Belanda di bawah pimpinan Alphons Wijman telah mengepung dan menggeledah setiap rumah di Desa Rawagede untuk mencari Kapten Lukas Kustario.

Tak kunjung menemukan sang pejuang kemerdekaan, Belanda pun mengumpulkan seluruh laki-laki di tanah lapang untuk ditanya mengenai keberadaan Lukas. Satu persatu warga Rawagede ditanyakan sembari ditodong pistol oleh tentara Belanda.

Geram karena tak ada satupun penduduk yang memberitahukan keberadaan Lukas, pemimpin tentara Belanda memerintahkan menembak mati semua penduduk laki-laki, mulai dari usia remaja hingga dewasa.

Tak lama setelahnya, tangisan dari para wanita yang kehilangan suaminya, anaknya, hingga kerabatnya pecah seiring darah yang terus mengalir di Rawagede.

Sebanyak 431 penduduk tewas akibat berondongan peluru dan tusukan bayonet pasukan Belanda.

Namun, sekali lagi Belanda mengelak atas kekejamannya. Dalam sebuah nota ekses, Belanda mengaku jumlah korban meninggal dunia hanya 150 orang.

Belanda juga tidak pernah secara terbuka membahas pembantaian Rawagede. Lobi kuat pemerintah Belanda saat itu membuat kasus pembantaian sadis ini tidak pernah sampai ke Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), walau Dewan Keamanan PBB pada 1948 bahkan menyebut aksi Belanda sebagai kesengajaan dan kejam.

Baru pada 1968, pembantaian Rawagede masuk ranah publik ketika satu laporan menyebutkan pemerintah Belanda mengakui terjadi tindak kekerasan yang berlebihan di Rawagede. Sekali lagi, pihak Belanda mengatakan pasukannya terpaksa memilih tindak kekerasan untuk meredam dan mencegah perang gerilya.

Perjuangan Keluarga Korban dan Permintaan Maaf Pemerintah Belanda

Para keluarga korban pun tak pernah berhenti memperjuangkan keadilan atas kematian orang terkasih. Bersama Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), para janda dan saksi korban pembantaian Rawagede menuntut permintaan maaf dan kompensasi dari Pemerintah Belanda.

Pemerintah Belanda diperintahkan membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya. Pengacara para korban kala itu, Liesbeth Zegveld dari biro hukum Bohler menuturkan jumlah kompensasi per orang sebesar 20 ribu euro atau sekitar Rp240 juta.

Akhirnya, saat peringatan 64 tahun tragedi Rawagede pada 9 Desember 2011, Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Tjeerd de Zwaan, menyampaikan permintaan maaf dalam satu upacara peringatan tragedi itu di Rawagede.

"Itu merupakan hari yang tragis, dan merupakan contoh yang ekstrim dari hubungan antara Indonesia dan pemerintah Belanda dan berjalan dengan salah pada saat itu. Saya disini tidak hanya atas nama pemerintahan Belanda, tetapi kehadiran saya juga didukung oleh parlemen dan warga Belanda," ujar Tjeer de Zwaan.

Duta Besar Belanda untuk Indonesia Tjeerd de Zwaan memberikan bunga kepada korban pembantaian Rawagede setelah utusan Belanda menyampaikan permintaan maaf resmi atas nama pemerintah Belanda. Foto: Romeo Gacad/AFP

''Pemerintah Belanda membuat pernyataan beberapa waktu lalu untuk menutup bagian yang sangat sulit. Sehubungan dengan itu, saya atas nama pemerintah Belanda meminta maaf atas tragedi yang terjadi di Rawagede pada 9 Desember 1947,'' lanjutnya.


Editor : Fiter Bagus
Penulis : Suliana

Komentar

Komentar
()

Top