Saudi Mediasi Perundingan Gencatan Senjata
Pesawat Bantuan I Seorang pria memandangi sebuah pesawat yang membawa pasokan bantuan dari Kuwait tengah mendarat di Bandara Port Sudan, pada 5 Mei lalu. Saat ini konflik di Sudan telah berlangsung selama 4 pekan.
Foto: AFP/Giuseppe CACACEKHARTOUM - Baku tembak dan serangan udara kembali terjadi pada Minggu (7/5) di ibu kota Sudan yang telah diguncang oleh pertempuran selama empat pekan meskipun ada upaya gencatan senjata terbaru yang didukung oleh Arab Saudi dan Amerika Serikat (AS).
Beberapa kesepakatan gencatan senjata telah diumumkan dan dengan cepat dilanggar sejak pertempuran meletus antara tentara dan pasukan paramiliter RSF pada 15 April di negara yang dilanda kemiskinan dengan sejarah panjang ketidakstabilan politik itu.
Pertempuran sengit sejak itu telah menewaskan sedikitnya 700 orang, kebanyakan dari mereka warga sipil, melukai ribuan orang dan mendorong eksodus massal warga Sudan dan asing.
Di Khartoum terpantau jet tempur telah membom posisi musuh saat penduduk yang ketakutan tetap terkurung di dalam rumah di tengah kekurangan air, makanan, obat-obatan, dan kebutuhan pokok lainnya.
Sementara itu si seberang Laut Merah, di Kota Jeddah, Arab Saudi, pembicaraan sedang berlangsung untuk mencapai gencatan senjata yang dapat membantu upaya untuk membawa bantuan kemanusiaan kepada penduduk yang terkepung.
Para jenderal yang memimpin pihak yang bertikai, saling menyalahkan atas kekerasan itu, tetapi tidak banyak bicara tentang pembicaraan yang diadakan di Jeddah sejak Sabtu (6/5).
"Pembicaraan itu membahas bagaimana gencatan senjata dapat diterapkan dengan benar untuk melayani pihak kemanusiaan," ucap juru bicara militer Sudan, Brigjen Nabil Abdalla.
Sedangkan pihak Riyad dan Washington DC telah mendukung pembicaraan pranegosiasi ini dan mendesak pihak yang bertikai untuk terlibat secara aktif.
Menurut peneliti Sudan di Universitas Gothenburg, Swedia. Aly Verjee, agar perundingan ini bermakna, setiap deklarasi gencatan senjata baru akan membutuhkan proses yang kredibel untuk memantau dan memverifikasi ketidakpatuhan gencatan senjata, dan konsekuensi yang disepakati bersama jika terjadi pelanggaran gencatan senjata.
Sedangkan menurut Andreas Krieg dari King's College London mengatakan bahwa pertempuran Khartoum dengan cepat berkembang menjadi perang gesekan dimana kedua belah pihak memiliki kemampuan dan kapasitas yang sama.
Tantangan Limpahan
Baik tentara maupun RSF telah berusaha menampilkan diri mereka sebagai pelindung nilai-nilai demokrasi, meskipun telah bersama-sama melancarkan kudeta terbaru Sudan pada tahun 2021.
Jenderal Burhan dan Jenderal Daglo yang memimpin RSF, bersama-sama menggulingkan otokrat lama Sudan, Omar al-Bashir, dalam kudeta pada tahun 2019, menyusul terjadinya aksi protes massa prodemokrasi.
Administrasi militer-sipil seharusnya mengarahkan Sudan pasca-Bashir menuju demokrasi, tetapi para jenderal meluncurkan kudeta lain pada tahun 2021 untuk mengambil alih kekuasaan penuh.
Sejak saat itu mereka telah terjerumus dalam perebutan kekuasaan, dengan titik nyala terbaru ketika sebuah rencana untuk mengintegrasikan RSF ke dalam tentara dicetuskan dan hal itu menyulut konflik yang meledak menjadi perang terbuka empat pekan lalu. AFP/I-1
Berita Trending
- 1 Kunto Aji Persembahkan Video Musik "Melepas Pelukan Ibu" yang Penuh Haru di Hari Ibu
- 2 Pemerintah Harus Segera Hentikan Kebijakan PPN 12 Persen
- 3 Kenaikan PPN 12% Bukan Opsi Tepat untuk Genjot Penerimaan Negara, Pemerintah Butuh Terobosan
- 4 Kasihan, Mulai Tahun Depan Jepang Izinkan Penembakan Beruang
- 5 Libur Panjang, Ribuan Orang Kunjungi Kepulauan Seribu
Berita Terkini
- TNI dan Polri Disiapkan untuk Antisipasi Cuaca Ekstrem saat Natal
- BMKG Prakirakan Jakarta Diguyur Hujan Disertai Petir pada Hari Natal
- Kekerasan Meningkat, Dewan Keamanan PBB Prihatin Atas Memburuknya Krisis di Haiti
- Ketua DPR Ajak Masyarakat Nyalakan Lentera Kasih Perdamaian untuk Perkuat Toleransi di Momen Natal Ini
- Meningkat, Garuda Menerbangkan 77.552 Penumpang pada Natal dan Tahun Baru