Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Senin, 19 Des 2022, 01:15 WIB

Salju Puncak Jaya Tak Lagi Abadi

Krisis iklim dan pemanasan global menyebabkan salju Puncak Jaya Papua mencair.

Foto: Istimewa

JAKARTA - Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan salju abadi di Gunung Puncak Jaya, Papua, akan musnah pada 2025. Peneliti BMKG, Donaldi S Permana, mengungkapkan, saat ini luas salju Puncak Jaya terus menyusut.

Menurutnya, pada era Revolusi Industri, luas es di Puncak Jaya mencapai 19 kilometer persegi. Pada 2002, luas es itu tinggal 2 kilometer persegi. "Kemudian turun lagi menjadi 1,8 kilometer persegi pada 2005," ujar Donaldi dikutip dari Forest Digest, baru-baru ini.

Donaldi melanjutkan, pada 2015, luas es di Puncak Jaya sudah dalam kondisi kritis, yaitu tinggal 0,6 kilometer persegi. Tiga tahun berselang, luas es semakin mengecil yaitu 0,46 kilometer persegi. Pada 2020, yang tersisa adalah 0,34 kilometer persegi. "Terakhir saya kontak NASA di tahun ini, luas es di Puncak Jaya tinggal 0,27 kilometer persegi," kata Donaldi.

Puncak Jaya merupakan titik tertinggi daratan Indonesia, 4.884 meter di atas permukaan laut. Terletak di Pegunungan Jayawijaya, Papua, suhu Puncak Jaya pada malam bisa turun hingga minus10 Celcius.

Menurutnya, krisis iklim dan pemanasan global menyebabkan suhu di Puncak Jaya lebih hangat daripada sebelum era Revolusi Industri di Eropa. Ini yang menyebabkan salju di Puncak Jaya tak lagi abadi.

Aktivitas manusia meningkatkan pemanasan global pada kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam 1.000 tahun terakhir. Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) memperkirakan, suhu global tahunan periode 2022-2026 bisa mencapai 1,5 Celcius lebih tinggi dari suhu bumi pada masa pra industri.

Akibatnya sudah dirasakan saat ini diawali dengan gelombang panas dan kekeringan ekstrem di belahan bumi utara. Di Indonesia, tren hujan ekstrem berupa hujan dengan intensitas lebih besar dari 150 milimeter per hari sudah terlihat peningkatannya berdasarkan grafik BMKG.

Tingginya curah hujan ekstrem memicu bencana baru yaitu banjir. "Risiko banjir seperti kejadian 2015 meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan pada masa lampau," kata Donaldi.

Ia juga menyebutkan data banjir Jakarta 100 tahun terakhir menunjukkan frekuensi banjir meningkat terutama dalam tiga dekade terakhir. "Peningkatan itu seiring dengan naiknya intensitas curah hujan tertinggi tahunan," katanya.

Krisis iklim dan pemanasan global, kata Donaldi, menyebabkan potensi bencana akibat kejadian ekstrem mengintai sepanjang tahun. Pada Desember-Januari-Februari ada ancaman banjir, longsor, dan gelombang tinggi. Pada Maret, April, Mei, ada puting beliung, petir, hujan dan es mengintai.

Sepanjang Juni, Juli, Agustus, ada ancaman bencana kekeringan, kebakaran hutan dan lahan serta gelombang tinggi. Puting beliung, petir, hujan es, dan hujan lebat sporadis disertai kilat petir dan angin kencang mengancam Indonesia pada September hingga November.

Donaldi mengambil data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 2021 yang menyebutkan sebanyak 98 persen bencana merupakan bencana hidrometeorologi dan 2 persen geologi.

Indeks ekstrem BMKG menemukan rata-rata suhu bumi periode 1981-2010 sebesar 26,6 Celcius. Sedangkan rata-rata suhu bumi pada 2020 sebesar 27,3 Celcius. "Ini menunjukkan bahwa tren pemanasan global itu memang terus naik," katanya.

Berdasarkan catatan BMKG, tahun terpanas di Indonesia terjadi pada 2016 saat suhu rata-rata di Indonesia naik 0,8 Celcius dari rata-rata suhu udara Indonesia periode 1981-2010. Pada 2020 suhu udara naik 0,7 Celcius, lebih tinggi dari suhu bumi pada 2019 yang naik 0,6 Celcius.

Berkurangnya lapisan salju Puncak Jaya di daerah tropis merupakan dampak langsung pemanasan global. Selain Puncak Jaya, salju di kutub ketiga (Third Pole) juga terus menipis. Kutub ketiga adalah sebutan untuk lapisan es di pegunungan Himalaya yang merupakan kumpulan salju terbesar setelah Arktik dan Antartika.

Seperempat es di pegunungan ini telah meleleh sejak 1970. Dalam laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada 2019, para ilmuwan memperingatkan hingga dua pertiga dari wilayah yang tersisa diperkirakan menghilang pada akhir abad ini.

Bahkan jika target yang disepakati secara internasional untuk membatasi pemanasan global di bawah kenaikan suhu 1,5C di atas tingkat pra-industri terpenuhi, dunia tetap terpanggang krisis iklim. Cirinya, salju di gunung-gunung tertinggi seperti salju Puncak Jaya pelan-pelan menghilang.

Redaktur: Marcellus Widiarto

Penulis: Selocahyo Basoeki Utomo S

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.