Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Joy

Saatnya Perempuan Mengenali Potensi Kekuatannya

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Jalan hidup tidak pernah sama. Kisah perempuan bangkit dari pandangan sebelah mata pun tidak mudah, ada saja halangan. Setidaknya hal ini lah yang coba diangkat dalam diskusi film 'Joy' si penemu kain pel modern era 90'an oleh komunitas Kebaya, Kopi,dan Buku.

Selepas maghrib, para ibu berkebaya rapih duduk berjajar di bangku yang telah disediakan di Ruang Juragan, FX Sudirman Jakarta. Sesekali mereka tampak sibuk berbisik dengan rekan sebangkunya membahas kisah perjuangan Joy Mangano, ibu tunggal dari Long Island, New York, AS, si penemu kain pel modern bernama Miracle Mop di era 90an, yang jejak kisahnya diangkat dalam sebuah film berjudul Joy.

Diperankan Jennifer Lawrence, film ini mengisahkan jalan panjang perjuangan sosok Joy yang cukup terbebani dengan kesehariannya mengurus keluarga dan orang tuanya sehingga bakatnya sebagai penemu sejak kecil seolah tersia-siakan.

Pada satu hari, dirinya mulai menyadari potensi yang dimilikinya itu. Dengan gambar seadanya dia menciptakan Miracle Mop, alat pel yang ringan, bisa diperas dan dicuci tanpa memegang kainnya. Dirinya yakin, penemuannya itu akan sangat dibutuhkan rumah tangga, tapi untuk mewujudkannya dia memerlukan modal besar dan melalui berbagai tantangan yang datang dari keluarganya, karena hampir semuanya pesimis Joy bisa menjualnya; apalagi untuk sebuah alat pel tersebut.

Berkat kegigihan, meski sempat ditahan polisi karena nekat berjualan di depan toko retail raksasa Kmart, dirinya berhasil mendapat konsesi dengan studio TV Home Shopping, melalui mantan suaminya. Kendati demikian peluang emas itu pun kembali gagal, ketika sang presenter tidak bisa memeragakan dengan baik Miracle Mop sehingga tidak ada satu pun pembeli. Selain itu ada masalah ketika dirinya ditipu pemasok sehingga harus merelakan rumahnya disita dan puluhan ribu alat pel yang sudah dibuat terancam tidak bisa dijual.

Namun apa pun masalah yang datang, selalu ada ide untuk memecahkannya hingga berujung sukses. Menurut therichest.com pada 2012 diperkirakan kekayaan Joy mencapai 50 juta dolar AS, atau sekitar 695 miliar rupiah (kurs Rp 14.900).

Kini ia adalah Presiden Ingenious Designs, LLC, dan giat tampil pada saluran belanja televisi AS, HSN. Joy juga merupakan pengarang Inventing Joy yang dirilis oleh Simon & Schuster.

Sekitar dua jam lebih, para ibu berkebaya dengan hikmat menikmati jejak perjalanan si penemu kain pel canggih di eranya. Yang menurut pengakuan Ratih Ibrahim, psikolog yang juga menjadi pembicara dalam acara ini memiliki banyak sekali pembelajaran yang bisa dipetik oleh kaum perempuan.ima/R-1

Ubah "Mindset"

Secara garis besar konfilik gender memang terasa kental di film ini, di mana Joy hidup di lingkungan yang minim 'dukungan' terhadap dirinya. Padahal secara kemampuan Joy adalah sosok yang cerdas.

Berkaca pada film tersebut Ratih menyarankan pada kaum perempuan untuk mengenali bakat serta potensi yang dimiliki. "Kita perlu sesering mungkin mengukur kekuatan kita. Kita bisa lihat pada film ini, Joy yang merupakan sosok cerdas tetapi tidak bisa melihat bakat yang dimilikinya, berhasil membuktikan potensinya meski dengan susah payah," terang Ratih.

Pengenalan diri kita ini bisa dimulai dengan menggali intelegensi masing-masing, hal ini sebenarnya adalah modal dari Tuhan yang pasti setiap manusia memilikinya, yang membuatnya berbeda hanya pada sisi kapasitasnya saja, ada yang kecil, besar dan lain sebagainya.

"Mengetahui daya kapasitas itu penting sekali, kalau kompetensi kan bisa berpengaruh dari kita belajar. Sering kali kita terperangkap dalam diri kita dan cukup sulit, memang butuh introspeksi terus menerus. Yang juga tak kalah penting dalam proses ini adanya peran support system, yang dalam film Joy bisa kita dapat dari sosok neneknya, yang tidak pernah letih terus berusaha membantu Joy untuk mengenali potensinya," sambungnya.

Peliknya proses penemuan bakat ini, tergambar jelas dalam lingkup konflik kehidupan Joy, yang hanya neneknya saja yang percaya kemampuan Joy. "Orang tua harus menjadi support system, kalau di film Joy kelihatan banget dalam keluarganya sangat minim dukungan. Tetapi bisa bangkit karena Joy punya role model yang bisa memelihara kepercayaan dirinya. Yah, memang dalam konteks sosial wanita memang kerap ditempatkan pada kelas warga nomor dua, yang sering termarjinalkan, di dikriminasi dan lain-lainya. Ini tantangan tersulit memang dan bisa dibantu dengan adanya support system, seperti yang dilakukan sang nenek terhadap Joy," ungkap Ratih.

Syaratnya harus mau menggali semangat. Setelah itu tinggal bagaimana kita memelihara semangat untuk terus berkembang sebagai sosok wanita tangguh, apalagi jika kita telah memiliki sokongan support system, intelegensi dan daya, atau kapasitas, di tahap ini tidak ada satu pun yang bisa mematahkan semangat untuk berkembang, kecuali itu datangnya dari dalam diri Anda sendiri.

"Anda bisa mengenal, kemudian menghargai kapasitas diri sendiri sesuai yang dianugerahkan Tuhan tadi, mau gede, kecil, sedang, semua ada jalan dan pengaplikasianya yang berujung menjadi berkat, memberi manfaat bagi orang di sekitar kita," ujar Ratih.

Ratih menegaskan sebenarnya perempuan bisa jadi apa saja yang mereka inginkan, tapi ada syaratnya yaitu harus mau memperjuangkannya. Karena perlu disadari, bentuk diskriminasi terhadap perempuan sudah mendarah daging di Bumi ini, tak terkecuali di Indoneisa. Bahkan Ratih melihat ketidakadilan gender itu dilestarikan oleh kaum perempuan sendiri, seperti dari ibu pada anaknya, teman kepada teman dan lain-lainya.

Dari pandangan ketidakadilan gender itu menempatkan kaum perempuan selalu memiliki limitisasi. "Sehingga lingkupnya terbatas, ada di dalam saja, kalau sudah masuk sektor publik maka akan dianggap melanggar kodrat. Stigma perempuan seperti ini harus segera dirombak, di mulai dari mengubah mindset kita," pungkas Ratih. ima/R-1

Komentar

Komentar
()

Top