Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Komoditas Pertanian

Saatnya Hentikan Perampokan Devisa Negara melalui Impor Pangan

Foto : KJ/WAHYU AP
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Keberlangsungan suatu negara sangat bergantung pada pertahanan dan keamanan yang solid untuk menghalau berbagai rongrongan dari luar. Faktor yang sangat penting dalam mendukung pertahanan itu adalah ketersediaan pangan yang menjadi kunci solidnya rakyat mendukung pemerintah.

Masalah pangan ini sebenarnya sudah disadari oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai faktor penting yang harus segera dibenahi karena selama ini Indonesia sudah banyak bergantung pada impor pangan. Padahal, Badan Pangan Dunia (FAO) sendiri dalam berbagai kesempatan sudah berkali-kali mengingatkan akan ancaman kelaparan global.

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Masyhuri, yang diminta pendapatnya dari Jakarta, Minggu (17/10), mengatakan impor pangan yang terus-menerus secara perlahan akan membuat rapuh satu negara karena setiap tahun mereka melarikan miliaran devisa negara. Pengalaman Indonesia misalnya, setiap tahun harus mencari 5-10 miliar dollar Amerika Serikat (AS) devisa yang harus dilarikan untuk impor pangan. Akibatnya, Menteri Keuangan harus terus meneken pinjaman sebagai ganti devisa yang dilarikan.

"Bagaimana negara bisa bertahan kalau pangan yang seharusnya dibangun di dalam negeri malah digunakan membeli produk petani asing. Saatnya, menghentikan perampokan devisa negara melalui impor pangan yang sudah berlangsung dari rezim ke rezim," kata Masyhuri.

Selain menggerogoti devisa, impor pangan juga sangat memukul petani dalam negeri. Mereka harus menanggung kerugian karena produk pertanian kalah bersaing dari sisi harga dengan komoditas impor yang mendapat berbagai insentif dari pemerintahnya.

"Ini sebenarnya tidak perlu terjadi kalau pemerintah memperkuat petani dan produktivitas dalam negeri dengan kembali sagu, Mocaf, dan porang. Devisa negara dan hak petani yang dirampok itu seharusnya digunakan petani Indonesia agar lebih sejahtera," kata pakar Sosial Ekonomi Pertanian itu.

Di sisi lain, upaya Presiden mengundang investor luar negeri masuk berinvestasi tidak kunjung mendapat respons yang baik. Hal itu karena mereka menilai investor dalam negeri saja yang sudah berupaya mati-matian, malah dimatikan dengan kebijakan seperti impor pangan.

Bagi investor asing dengan melihat kondisi tersebut maka akan lebih mudah bagi mereka mengekspor produknya ke Indonesia dari pada harus investasi langsung. Investor asing lebih mudah jadi eksportir ke Indonesia daripada investasi karena semua investasi di Indonesia dimatikan barang impor yang murah.

"Kenapa lebih murah, aturan di sini terlalu banyak, dipajak habis-habisan, belum biaya siluman tidak terhitung. Tidak ada kepastian hukum di negeri ini, tergantung siapa yang nyantol ke kekuasaan. Biaya produksi lebih mahal atau high cost economic, lebih enak jadi eksportir," katanya.

Apalagi sekarang bermunculan perusahaan platform perdagangan digital atau e-commerce yang memfasilitasi barang asing, begitu juga dengan mal yang didominasi barang impor.

"Jadi, kebijakan untuk membangun infrastruktur disiapkan untuk importir ke Indonesia, bukan buat eksportir yang mendatangkan devisa," kata Mashyhuri.

Figur Jujur

Sementara itu, Penasihat Senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice(IHCS), Gunawan, mengatakan tata kelola pangan ini sangat memprihatinkan karena Indonesia dikenal sebagai negara agraris, punya lahan yang subur, cuaca bagus tapi kebijakan impor pemerintah mematikan apa yang telah disediakan alam sekaligus sumber daya manusia yang ada.

"Tidak banyak negara yang kebijakannya mematikan petaninya, Indonesia salah satunya. Coba lihat terigu yang diimpor bea masuknya nol persen, sementara Mocaf (tepung singkong) kalau mau diekspor dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), itu pun pasarnya tidak ada. Begitu juga sagu, juga dimatikan," katanya.

Makanya, Badan Pangan dari satu rezim ke yang lain tidak mau dibentuk, karena kalau ada orang jujur di badan itu maka pasti importir mati. Hal itu menunjukkan banyak yang tidak mau kalau Indonesia maju karena mampu memproduksi di dalam negeri.

Meskipun sudah terbentuk, Badan Pangan harus memiliki kekuasaan yang penuh setingkat menteri koordinator sehingga bisa mengambil alih semua kekuasaan izin impor di bawah badan tersebut. "Badan Pangan harus kuat agar rakyat kita tidak kelaparan di lumbung padi," katanya.

Badan Pangan semestinya dipimpin figur yang nasionalis dan jujur serta semua izin impor harus di bawah pengendaliannya agar setiap satu dollar impor pangan harus didahului ekspor. Makanya perlu diperkuat dalam peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksana dari UU Cipta kerja karena dengan hemat devisa maka akan menciptakan lapangan kerja.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top