Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Proses Legislasi

RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak Disetujui

Foto : antara

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan resmi disetujui pada Pembahasan Tingkat 1 (satu) oleh 8 (delapan) fraksi Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Selanjutnya, RUU ini akan ditindaklanjuti pada Pembahasan Tingkat 2 (dua) dalam Rapat Paripurna DPR RI.

"Terima kasih dan apresiasi kepada semua pihak yang berkontribusi terhadap penyelesaian RUU hingga hari ini, termasuk kepada fraksi yang telah menyampaikan persetujuan untuk dibahas di tingkat selanjutnya," ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, di Jakarta, Selasa (26/3).

Dia menerangkan, kesejahteraan ibu dan anak perlu ditingkatkan untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) dan generasi penerus bangsa yang unggul di masa depan. Pembangunan SDM unggul ditentukan oleh terpenuhinya hak dan kebutuhan dasar ibu dan anak, khususnya pada seribu hari pertama kehidupan.

Sebelumnya, RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak diinisiasi oleh DPR RI sejak 30 Juni 2022 dan ditindaklanjuti dengan penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) bersama seluruh pemangku kepentingan terkait.

Namun, berdasarkan perkembangan pembahasan muatan substansi mengarahkan Pemerintah agar memfokuskan pengaturan DIM pada 'Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan'.

"Oleh karena itu, yang didefinisikan dalam RUU ini adalah anak pada fase seribu hari pertama kehidupan, yaitu seseorang yang kehidupannya dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan sampai dengan anak berusia 2 (dua) tahun," jelasnya.

Bintang menerangkan, RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan merumuskan cuti bagi ibu pekerja yang melakukan persalinan, yaitu paling singkat 3 (tiga) bulan pertama dan paling lama 3 (tiga) bulan berikutnya apabila terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Sementara, suami yang mendampingi persalinan istrinya diberikan cuti selama 2 (dua) hari dan paling lama 3 (tiga) hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan.

Selain itu, suami yang mendampingi istrinya yang keguguran juga berhak mendapatkan cuti selama 2 (dua) hari. Hal ini memberikan jaminan perlindungan bagi seorang ibu yang juga seorang pekerja.

"Setiap ibu bekerja yang melaksanakan hak atas cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan berhak mendapatkan upah secara penuh untuk 3 (tiga) bulan pertama dan bulan keempat, serta 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan keenam," ucapnya. ruf/S-2


Redaktur : Sriyono
Penulis : Muhamad Ma'rup

Komentar

Komentar
()

Top