Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan APBN

Rupiah Jeblok, Lonjakan Subsidi Energi Bakal Membuat Defisit Melebar

Foto : Sumber: Kementerian ESDM - KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA- Pemerintah mengakui bahwa subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bakal meningkat pada tahun 2024 yang disebabkan oleh perubahan parameter asumsi makro yaitu harga dan lifting minyak serta kurs rupiah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR mengatakan Pemerintah telah menggelontorkan dana sebesar 155,7 triliun rupiah untuk subsidi dan kompensasi energi. Dana tersebut digunakan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebanyak 7,16 juta kiloliter dan LPG 3 kilogram sebanyak 3,36 juta kilogram.

Menkeu menyebutkan belanja untuk subsidi dan kompensasi energi, yang meningkat lantaran depresiasi nilai tukar rupiah, berdampak pada peningkatan belanja negara. Belanja negara pada semester I-2024 tercatat meningkat 11,3 persen secara tahunan mencapai 1.398 triliun rupiah.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan Pemerintah saat ini menghadapi tantangan yang relatif sulit untuk memformulasikan kebijakan fiskal dan kebijakan harga energi yang optimal untuk mengantisipasi dampak negatif dari pelemahan nilai tukar rupiah.

Pelemahan nilai tukar rupiah berpotensi berdampak negatif terhadap kondisi fiskal Indonesia. Untuk APBN 2024, setiap pelemahan rupiah sebesar 100 rupiah per dollar AS berpotensi meningkatkan pendapatan negara sekitar 4 triliun rupiah.

Akan tetapi, pelemahan tersebut memberikan konsekuensi terhadap meningkatnya belanja negara sekitar 10,20 triliun rupiah. "Artinya, setiap pelemahan rupiah sebesar 100 rupiah per dollar AS berpotensi meningkatkan defisit APBN sekitar 6,20 triliun rupiah," paparnya.

Begitu pun, setiap pelemahan rupiah sebesar 100 rupiah per dollar AS, akan meningkatkan biaya pengadaan BBM sekitar 100 rupiah per liter.

Dengan kondisi tersebut, maka penyesuaian harga BBM kemungkinan akan menjadi opsi yang cukup logis. Namun demikian, Pemerintah perlu mengantisipasi potensi risiko yang timbul jika melakukan penyesuaian harga BBM. Sebab, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia baik berdasarkan pendekatan sektoral maupun kelompok pengeluaran memiliki keterkaitan yang kuat dengan harga energi.

Terlalu Berat

Pengamat ekonomi dari Universitas Muhamamadiyah Yogyakarta (UMY) Achmad Maruf mengatakan saat ini bukan saat yang tepat untuk mengembangkan wacana kemungkinan kenaikan harga energi bersubsidi. Sebab, beban masyarakat saat ini sudah terlalu berat yang ditunjukkan dengan angka-angka konsumsi masyarakat yang turun.

"Dengan harga BBM bersubsidi yang lebih tinggi, biaya transportasi dan kebutuhan sehari-hari akan meningkat. Masyarakat pun harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk kebutuhan dasar mereka. Hal ini sangat memberatkan terutama bagi golongan menengah ke bawah yang pendapatannya terbatas," papar Maruf.

Peneliti Ekonomi Celios, Nailul Huda mengatakan, kenaikan beban subsidi energi ini dipastikan membuat defisit APBN membengkak. Sebab itu, Pemerintah harus melakukan pengetatan dan realokasi anggaran untuk menahan defisit APBN tidak terlampau dalam.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top