Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pembangunan Ekonomi|Pemerintah Jangan Meratifikasi Seluruh Perjanjian Perdagangan

Ruang Monopoli Korporasi Kian Melebar

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Strategi pemulihan ekonomi nasional (PEN) melalui penguatan kebijakan liberalisasi ekonomi yang hanya berfokus pada investasi dan ekspor berpotensi semakin membuka ruang monopoli korporasi atas sumber daya ekonomi. Hal itu dikhawatirkan dapat berdampak pada hilangnya keadilan ekonomi terhadap aktor utama ekonomi rakyat, seperti petani, nelayan, pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), dan perempuan.

Strategi pemulihan ekonomi nasional melalui penciptaan momentum investasi untuk meningkatkan ekspor dijawab pemerintah dengan menggencarkan perundingan perjanjian perdagangan dan investasi internasional, serta RUU Omnibus Cipta kerja.

Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi mendesak pemerintah dan DPR RI menghentikan pembahasan Omnibus Law dan tidak meratifikasi seluruh bentuk perjanjian perdagangan dan investasi internasional seperti WTO, FTA, dan BIT/ bilateral investment treaty), khususnya di tengah pandemi.

Direktur Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, menjelaskan agenda global value chain yang digadang pemerintah dalam traktat perdagangan bebas (FTA) dan Omnibus Law hanya akan memfasilitasi kepentingan korporasi. Bahkan, liberalisasi perdagangan itu tidak memiliki mekanisme perlindungan konkret untuk rakyat yang terpinggirkan dari kebijakan tersebut. "Hal inilah yang memunculkan kritik meluas dari rakyat," ujarnya dalam diskusi di Jakarta, Senin (7/9).

IGJ mencatat saat ini Indonesia sedang merundingkan perjanjian perdagangan bebas meliputi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan Indonesia European Union CEPA (I-EU CEPA), serta beberapa di antaranya sedang menunggu untuk diratifikasi, termasuk IA CEPA, I-EFTA CEPA, dan IKorea CEPA. Selain itu, pemerintah RI sedang merundingkan perjanjian investasi bilateral dengan Swiss.

Menurut Rachmi, karpet merah untuk investasi ini sebenarnya kerap menimbulkan persoalan terhadap kedaulatan negara sehingga membuka potensi negara digugat oleh korporasi. Hal ini muncul dari komitmen yang diikatkan oleh pemerintah Indonesia di berbagai perjanjian perdagangan dan investasi internasional.

Peneliti Third World Network (TWN), Lutfiyah Hanim, mengatakan ratifikasi FTA dan bilateral investment treaty (BIT) yang mengatur tentang perlindungan investasi memiliki konsekuensi besar terhadap ruang kebijakan negara, khususnya ketika mekanisme sengketa investasi antara korporasi dan negara (Investor-State Dispute settlement) ikut dikomitmenkan.

Hanim melanjutkan, perjanjian investasi dan bab investasi yang dikedepankan mencakup perlindungan investor yang berlebihan hingga bisa menggugat negara melalui mekanisme Investor State Dispute Settlement (ISDS) di arbitrase internasional. "Karena itu, kelompok masyarakat sipil di seluruh dunia, menyampaikan keprihatinannya atas situasi ini," ujarnya.

Abaikan Petani

Sementara itu, Kartini Samon dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi mengatakan pandemi Covid-19 seharusnya dilihat bahwa perekonoian nasional sangat bergantung pada petani, nelayan, peternak lokal dan produsen pangan kecil lainnya.

"Mereka itu yang justru akhir-akhir ini semakin tergusur karena berbagai proyek investasi infrastruktur raksasa, perampasan ruang, tanah, air, laut, kebijakan pasar bebas yang mengikat dan menghilangkan hak-hak mereka," jelasnya.

ers/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top