Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus
Pengelolaan Anggaran - Perlu Dipertimbangkan Kebijakan Setop Utang

Ruang Berutang Kian Sempit, Segera Tagih Utang BLBI

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Utang BLBI membuat utang negara hampir pecah 4.000 triliun rupiah saat ini.


Berutang sah-sah saja, tetapi harus ada time line kapan bisa mengembalikannya.

JAKARTA - Sejumlah kalangan mengatakan di saat penerimaan negara cenderung seret dan ruang penarikan utang baru kian menyempit, maka pemerintah semestinya mencari sumber pendapatan lain untuk menutup anggaran belanja negara.

Salah satu sumber yang bisa dimanfaatkan pemerintah adalah menagih utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) beserta dendanya.


"Seharusnya kebergantungan yang makin tinggi terhadap utang mesti dicermati lebih mendalam. Evaluasi efektivitas utang dan kemungkinan sumber pendapatan lain mesti dilakukan.

Salah satunya utang BLBI yang menjadi PR saat ini harus diselesaikan," kata Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi (Fitra), Yenny Sucipto, di Jakarta, Jumat (20/10).


Menurut dia, para obligor BLBI yang belum melunasi utangnya seharusnya segera ditagih berikut dendanya sesuai kesepakatan yang dibuat dengan pemerintah. Kementerian Keuangan perlu merumuskan strategi pelaksanaan hak tagih negara tersebut.


"Jadi, ini bisa menjadi sumber pendapatan negara sehingga tidak selalu mengandalkan utang," jelas Yenny.


Sebelumnya dikabarkan, di dalam audit investigasi BPK 1998-1999 terkait perjanjian penyelesaian utang BLBI melalui Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), Master of Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA),

dan personal guarantee, debitur sudah mengakui utang-utang itu bersama penalti yang harus dibayar atas sisa utang yang harus dilunaskan. Denda itu besarnya 2 persen per bulan dari sisa yang belum dilunasi.


Pengamat keuangan, Ahmad Iskandar, mengungkapkan itulah sebenarnya biaya yang ditanggung negara. Utang negara dari utang BLBI yang diubah menjadi obligasi rekapitalisasi perbankan sebesar 650 triliun rupiah sejak September 1998 hingga kini bersama bunga berbunganya menjadi 4.000 triliun rupiah.


"Jika denda 2 persen per bulan maka dalam satu tahun mencapai 24 persen dikalikan 19 tahun. Ketentuan itu ada dalam audit investigasi BPK, dan hal itu ditandatangani debitur sebagai utang dan kewajiban kepada negara," papar dia.


Menurut Iskandar, kepastian hukum dalam penyelesaian kasus BLBI yang selama ini tidak ditegakkan hanya menunda masalah lebih besar, dan justru membuat keuangan negara kedodoran. Beban utang itu menjadi masalah yang tidak bisa dikejar oleh pertumbuhan ekonomi nasional dan pendapatan pajak negara.


"Piutang negara adalah aset negara sehingga hak tagih atas utang BLBI itu harus dilaksanakan," tegas dia.


Terkait dengan beban utang yang sangat tinggi, Yenny pun mengingatkan perlunya kebijakan untuk menyetop utang, sehingga pemerintah mempunyai waktu untuk memikirkan cicilan pokok dan bunga yang sudah ditarik hingga saat ini. Sebab, jika tiap tahun Indonesia terus bertambah, maka kian sulit pula untuk melunasinya.


"Stop utang, misalnya, di angka 3.800 triliun rupiah. Utang sebesar ini baru bisa dilunasi sekitar 45 tahun. Kalau kita berutang lagi, bisa-bisa lebih dari 60 tahun kita nggak bisa bayar-bayar," tukas dia.


Kegiatan Produktif


Seperti dikabarkan, total utang pemerintah mencapai 3.866,45 triliun rupiah per akhir September 2017 atau bengkak 40 triliun rupiah dibandingkan posisi akhir Agustus 2017, yaitu 3.825,79 triliun rupiah.


Ekonom Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistianingsih, menilai dengan rasio utang saat ini yang mencapai 28,4 persen, artinya ruang utang pemerintah semakin kecil. Pasalnya, rasio utang yang dianggap aman adalah 33 persen sehingga ruang yang ada tinggal sekitar 4 persen dari produk domestik bruto (PDB).


"Kalau asumsi PDB 12 ribu triliun rupiah, sisanya tinggal 480-an triliun rupiah. Itu hanya satu tahun," kata dia.


Sementara itu, ekonom Universitas Padjajaran, Ina Primiana, menambahkan pemerintah harus hati-hati mengelola utang. Berutang sah-sah saja, tetapi harus ada timeline kapan bisa mengembalikannya. "Utang yang ditarik itu bisa kembali di tahun berapa," kata dia.


Menurut Ina, utang harus diarahkan untuk kegiatan produktif dan berdampak terhadap percepatan perputaran ekonomi atau membuka lapangan kerja. "Itu memang harus ditunjukkan oleh pemerintah," kata dia.


Ina pun mengaku belum melihat efektivitas utang. Masyarakat juga belum tahu pemerintah menanamkan utangnya dalam bentuk kegiatan produktif yang mana. ahm/WP


Redaktur : Khairil Huda

Komentar

Komentar
()

Top