Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Rokok Hambat Konsumsi Makanan Bergizi

Foto : mar'up

Deputi Pelatihan Penelitian dan Pengembangan BKKBN, M Rizal Martua Damanik

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Rokok menghambat konsumsi makanan bergizi, terutama bagi keluarga miskin. Demikian disampaikan Deputi Pelatihan Penelitian dan Pengembangan, Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Muhammad Rizal Martua Damanik, dalam Sosialisasi Hubungan Perilaku Merokok dan Stunting, di Jakarta, Kamis (20/1).

"Jika belanja rokok dikurangi, apalagi dihilangkan sama sekali, maka kesempatan keluarga miskin untuk berbelanja makanan bergizi akan menjadi lebih besar," ujarnya. Dia menyebut, ada hubungan kuat antara konsumsi rokok dan stunting serta kemiskinan.

Dia memaparkan, data studi Universitas Indonesia dan Imperial College London tahun 2020 menunjukkan prevalensi perokok pasif dalam rumah sangat tinggi, 78,4 persen. Sebagai pembanding, Tiongkok, Bangladesh, dan Thailand prevalensinya sekitar 40 persen.

Rizal menekankan, kondisi ini cukup mengkhawatirkan mengingat perempuan dan anak merupakan kelompok rentan terhadap asap rokok. Paparan perokok pasif dalam kehamilan berisiko terhadap ibu dan bayi.

"Ibu hamil menjadi perokok pasif berhubungan dengan kelahiran berkualitas rendah. Rata-rata berat bayi 71,6 gram lebih rendah. Ada 51 persen lebih tinggi kemungkinan ukuran lahir lebih kecil daripada rata-rata," terangnya.

Sementara itu, Ketua Bidang Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat, Komite Nasional Pengendalian Tembakau, Rita Damayanti menerangkan, rokok memiliki dampak multisektoral. Artinya, rokok tidak hanya membahayakan kesehatan, tapi juga mengancam ekonomi keluarga.

"Studi menunjukkan masyarakat menghabiskan uang untuk belanja rokok lebih banyak daripada beli telur dan sumber protein lainnya," jelasnya. Rita menyebut, rokok merugikan ekonomi hingga 27,7 triliun rupiah untuk sistem kesehatan dan keluarga. BPJS Kesehatan mengalokasikan 10,5-15,5 triliun rupiah untuk menambal beban biaya kesehatan. "Ada 230.000 kematian akibat konsumsi rokok di Indonesia setiap tahun," katanya.

Dia menjelaskan, kondisi ini membuat rokok harus dikendalikan peredarannya. Terdapat 6 pilar pengendalian tembakau. Ini melalui edukasi publik, perlindungan perokok pasif, menaikan cukai rokok, larangan iklan, informasi risiko dan bahaya rokok. Kemudian, mengakomodasi perokok yang ingin berhenti merokok. "Rokok adalah produk dengan eksternalitas negatif yang memiliki dampak multisektor. Ini melahirkan kerugian, sehingga konsumsinya harus dikendalikan," tandas Rita.


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Muhamad Ma'rup

Komentar

Komentar
()

Top