Timothy Graham, Queensland University of Technology dan Mark Andrejevic, Monash University
Pada 13 Juli, tak lama setelah Donald Trump menjadi target percobaan pembunuhan, Elon Musk, pemilik X (sebelumnya Twitter) yang juga seorang miliarder, mengunggah cuitan kepada lebih dari 200 juta pengikutnya:
Saya sepenuhnya mendukung Presiden Trump dan berharap dia segera pulih.
Selain pernyataan ini, Musk juga berupaya memengaruhi hasil pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) melalui berbagai cara. Dalam tiga bulan terakhir, misalnya, Musk telah menyumbang lebih dari US$100 juta (setara Rp1,57 triliun) kepada sebuah komite aksi politik bernama America PAC yang mendukung Trump.
Namun, penelitian baru kami (saat ini tersedia dalam bentuk pracetak) mengindikasikan bahwa Musk mungkin juga menggunakan pengaruhnya dengan cara yang lebih halus melalui platform X miliknya. Namun, semakin tertutupnya platform ini bagi para peneliti membuat hal ini sulit dipastikan.
Tak lama setelah Musk menyatakan dukungannya terhadap kampanye Trump, terjadi anomali lonjakan dalam jumlah engagement pada akun X-nya. Tiba-tiba, unggahan Musk mendapatkan jumlah tayangan, retweet, dan like yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan akun-akun politik terkemuka lainnya di platform tersebut.
Hal ini menimbulkan kecurigaan apakah Musk telah mengubah algoritma platform X untuk meningkatkan jangkauan unggahannya menjelang pemilihan Presiden AS. Situasi ini sekaligus menunjukkan masalah regulasi platform media sosial seperti X di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Bukan yang pertama kali
Musk memiliki rekam jejak dalam mengubah algoritma X agar kontennya bisa menjangkau lebih banyak orang.
Tahun lalu, dia dilaporkan mengerahkan tim yang terdiri dari sekitar 80 insinyur untuk meningkatkan jangkauan unggahannya secara algoritmik. Hal ini terjadi setelah cuitannya yang mendukung Philadelphia Eagles selama Super Bowl dikalahkan oleh cuitan serupa dari Presiden AS Joe Biden.
Super Bowl adalah pertandingan kejuaraan sepak bola yang diadakan setiap tahun oleh National Football League (NFL) di AS. Philadelphia Eagles adalah tim sepak bola berbasis di Philadelphia yang ikut bermain di liga tersebut.
Musk mengonfirmasi kejadian ini secara tidak langsung dengan mengunggah sebuah gambar yang menunjukkan seorang perempuan yang diberi label “tweet Elon” secara paksa memberi susu botol kepada perempuan lain yang diberi label “Twitter”.
Untuk mengetahui apakah Musk melakukan hal yang sama menjelang pemilu AS, kami membandingkan metrik interaksi Musk–seperti jumlah tayangan, retweet, dan like–dengan beberapa akun tokoh politik ternama lainnya di platform media sosial ini. Data mencakup periode dari 1 Januari 2024 hingga 25 Oktober 2024.
Akun tokoh politik lain yang menjadi dasar perbandingan adalah akun komentator sayap kanan seperti Jack Posobiec, Tucker Carlson, dan Donald Trump Jr. Kami juga menganalisis akun dari spektrum politik lainnya, termasuk akun politikus AS Alexandria Ocasio-Cortez, Senator AS Bernie Sanders, dan Wakil Presiden Kamala Harris.
Peningkatan yang tiba-tiba dan signifikan
Sejak Juli, interaksi pada akun X milik Musk mengalami peningkatan yang mendadak dan signifikan. Jumlah view untuk unggahannya meningkat sebesar 138%, retweet naik sebesar 238%, dan like meningkat 186%.
Sebagai perbandingan, akun-akun tokoh politik ternama lainnya di X mengalami peningkatan yang lebih moderat: 57% dalam jumlah view, 152% dalam retweet, dan 130% untuk like.
Ini menunjukkan bahwa walaupun interaksi meningkat untuk semua akun setelah Juli, metrik Musk mengalami lonjakan yang sangat besar, terutama dalam hal retweet dan like.
Penelitian ini juga menemukan bahwa sejak Juli, akun-akun konservatif dan sayap kanan di X memiliki performa visibilitas unggahan yang lebih baik dibandingkan dengan akun-akun dari spektrum politik yang lebih progresif atau kiri.
The Conversation telah mencoba meminta tanggapan dari pihak X terkait hasil penelitian ini, namun belum menerima balasan.
Tanpa akses untuk mengetahui cara kerja perusahaan, mustahil memastikan apakah perubahan pada sistem kurasi X benar-benar membuat unggahan pemiliknya (Elon Musk) lebih banyak terlihat oleh pengguna.
Sejak diambil alih Musk, platform X membatasi akses peneliti terhadap data internalnya. Akibatnya, para peneliti hanya bisa mengumpulkan data dalam jumlah terbatas untuk riset ini.
Namun, baru-baru ini Washington Post juga menemukan bahwa cuitan dari politikus Partai Republik memiliki peluang lebih besar untuk menjadi viral, dengan memperoleh miliaran tampilan lebih banyak daripada cuitan dari politikus Partai Demokrat.
Serupa dengan itu, investigasi oleh Wall Street Journal mengungkapkan bahwa pengguna baru platform ini “dibanjiri dengan konten politik” yang secara tidak proporsional mendukung Trump.
Sejak Musk membeli platform X, platform ini menjadi lebih disukai oleh tokoh-tokoh sayap kanan, termasuk orang-orang yang sebelumnya di-banned karena menyebarkan informasi yang berbahaya dan tidak benar.
Mitos netralitas
Temuan ini memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana platform media sosial berpengaruh milik Musk memperkuat agenda politik pemiliknya.
Musk, yang bisnisnya memiliki banyak kontrak dengan pemerintah AS, telah secara terbuka menunjukkan dukungannya kepada Trump. Miliarder teknologi ini juga memberikan dukungan finansial dan dilaporkan sebagai donor terbesar kedua Trump. Dia juga mempromosikan Trump dalam sebuah wawancara langsung di X dan sering menulis sejumlah cuitan yang mendukung kampanye Trump.
Selain itu, Musk juga membagikan $1 juta (sekitar Rp15,7 miliar rupiah) per hari kepada pemilih terdaftar yang terpilih. Rencana yang dipertanyakan legalitasnya ini tampaknya bertujuan untuk meningkatkan pendaftaran pemilih di kalangan simpatisan di negara-negara bagian kunci.
Tindakan Musk menghancurkan ilusi bahwa platform media sosial seperti X bersifat netral. Mengingat ia sebelumnya pernah mengubah algoritma X untuk memperluas jangkauan unggahannya, akan mengejutkan jika ia tidak “mengarahkan” platform tersebut demi Trump, yang diyakininya sebagai “jalan menuju kemakmuran”.
Sudah terlalu lama, platform media sosial menikmati kekebalan terhadap dampak dari informasi yang mereka seleksi untuk ditampilkan di linimasa pengguna. Sudah waktunya bagi pemerintah mempertimbangkan kembali cara mengatur kekuatan oligopoli atas lingkungan informasi kita yang dikendalikan oleh segelintir miliarder teknologi.
Timothy Graham, Associate Professor in Digital Media, Queensland University of Technology dan Mark Andrejevic, Professor, School of Media, Film, and Journalism, Monash University, Monash University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
- Baca Juga: Ratusan Polisi Inggris Dipecat karena Pelanggaran
- Baca Juga: NATO Bersiap Menyambut Kembalinya Trump