Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Ancaman Krisis Pangan - Banyak Negara Lakukan Proteksionisme untuk Penuhi Kebutuhan Sendiri

RI Sebaiknya Fokus ke Dalam Negeri

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sejumlah kalangan pesimistis dengan komitmen pemerintah yang ingin berkontribusi dalam mengatasi masalah pangan global. Sebab di dalam negeri, persoalan pangan masih belum terurai, mulai dari faktor produksi hingga distribusinya.

"Masalahnya, ketahanan dalam negeri saja masih jadi problem, bagaimana kita bisa terlibat lebih jauh mengurus kerawanan pangan global," tandas Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda, kepada Koran Jakarta, Kamis (13/10).

Huda mengaskan memang krisis pangan ini bisa menjadi kenyataan mengingat perang Russia-Ukraina membuat harga pangan dan energi meningkat. Selain itu, mulai muncul upaya proteksi masing-masing negara untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Karena itu, pasokan untuk global pun mulai berkurang.

"Harga jagung naik sangat tinggi sekali dibandingkan sebelum pandemi. Padahal jagung ini merupakan bahan baku untuk ternak juga. Kenaikan ini akan merembet ke mana-mana. Harga ke konsumen tinggi, daya beli masyarakat menurun," tandas Huda.

Indonesia, lanjutnya, belum bisa dikatakan sebagai pemain supply chain produk pertanian global. "Kita masih kalah dibandingkan Tiongkok maupun Brasil, Amerika Serikat (AS), dan lainnya," tegas Huda.

Senada Huda, Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, mengatakan, di Indonesia sendiri kondisi pangan memang rawan karena rentan dengan bencana dan perubahan iklim yang mengancam sisi produksi.

Kerawanan pangan ini, lanjutnya, dialami oleh masyarakat kalangan bawah yang memiliki akses yang terbatas terhadap suplai pangan. Karena itu, lanjut dia, pemerintah harus menjaga agar produksi domestik itu terjaga, khususnya di lahan-lahan subur seperti di Jawa.

"Harus jaga, jangan sampai produksi di lahan subur itu turun, misalnya karena konversi lahan. Selama ini, konversi lahan ke perumahan ini sangat besar. Mestinya untuk menjaganya bisa pakai UU lahan pertanian berkelanjutan, tetapi itu susah juga di ekskusi karena kewenangan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah-red) itu ada di pemda," paparnya.

Menurut Tauhid, lahan di Jawa itu penting karena pengadaan lahan di luar Jawa belum bisa diharapkan. Buktinya, hasil food estate di luar Jawa jauh dari kata memuaskan.

Dalam catatan Badan Pangan Nasional sebanyak 74 kabupaten/ kota atau 14 persen dari jumlah daerah di Indonesia masuk dalam kategori rentan rawan pangan di Indonesia pada 2021. Kerentanan rawan pangan tersebut lantaran adanya ketimpangan antara produksi pangan dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat.

Data Food Security and Vurnerability Atlas (FSVA) BPN mencatat 29 daerah masuk kategori sangat rentan, 17 daerah rentan dan 28 daerah agak rentan. Sementara itu, sebanyak 43 daerah masuk kategori agak tahan, 106 daerah kategori tahan, dan 291 daerah kategori sangat tahan. Jumlah daerah yang rentan rawan pangan pada 2021 meningkat dari 2020 yang sebanyak 70 kabupaten/ kota.

Kesiapan Mitigasi

Sementara itu, menteri keuangan dan menteri pertanian negara anggota G20 melalui Pertemuan G20 Joint Finance and Agriculture Ministers (JFAMM) yang pertama di Washington DC, AS, menyatakan kesiapan untuk memitigasi risiko atas kerawanan pangan.

"Kami menyediakan komitmen sebagai fondasi yang penting untuk penguatan koordinasi dan menjawab tantangan dalam masalah ketahanan pangan," kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam jumpa pers di Washington DC, AS, Selasa (11/10) waktu setempat.

Pada kesempatan sama, Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, menekankan pentingnya kolaborasi global untuk mengatasi krisis pangan.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top