Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Strategi Pembangunan I Pemerintah Harus Tanggapi Peringatan Bank Dunia

RI pada 2022 Akan Dapat Tekanan Berat Hadapi Masalah Utang

Foto : Sumber: Bank Dunia - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

» Pemerintah jangan membuat utang baru karena pembayaran cicilan dan bunga akan makin berat.

» Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi terganggu.

JAKARTA - Pemerintah Indonesia pada tahun depan akan mendapat tekanan berat dari menggunungnya utang. Karena selain utang pemerintah sendiri yang besar, utang BUMN juga sudah terlalu banyak. Demikian disampaikan peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng kepada Koran Jakarta, Minggu (26/12).

"Jadi, utang pemerintah besar sekali. Nah, utang BUMN itu semua strong linked dengan pemerintah. Sama dunia luar, utang BUMN itu ya utang pemerintah," kata Daeng.

Menurut Daeng, baik pemerintah maupun BUMN menghadapi masalah cash flow yang rendah. Cash flow hanya bisa dikejar dengan pertumbuhan tinggi, padahal pada 2022 belum banyak yang bisa diharapkan. Selain tantangan Covid-19, kewajiban yang sudah terlalu besar membuat ruang fiskal pemerintah untuk mendongkrak percepatan sektor-sektor penting juga sudah berat.

Di BUMN, tambah Daeng, utang Pertamina misalnya, permintaan minyak jelas sulit diharapkan naik karena ada tekanan dari perjanjian perubahan iklim. Begitu pula dengan PLN, konsumsi listrik masih mungkin naik, tapi masalahnya pembangkit PLN 70 persen lebih masih membakar batu bara terbentur lagi dengan perjanjian perubahan iklim.

Selain itu, tambah Daeng, BUMN Karya menghadapi masalah sulitnya revenew karena tekanan ekonomi yang belum bisa membangkitkan pemasukan dari tol, bandara, dan pelabuhan. Garuda dan Krakatau Steel, sudah sulit bersaing.

"Jadi sudah benar-benar berat, kecuali secara fundamental mengubah cara mengelola anggaran dan menekan utang baru," tandas Daeng.

Beban Utang Berlebihan

Pakar Ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Bambang Budiarto, mengatakan pemerintah perlu menanggapi peringatan Bank Dunia atas ancaman krisis akibat beban utang yang berlebihan. Dia memperingatkan pemerintah agar tidak membuat utang baru.

"Pemerintah harus mengawasi penggunaan utang. Hal itu diperlukan karena jika terjadi gagal bayar akan melahirkan imperialisme modern, dengan negara akan jatuh dalam kendali negara lain," kata Bambang.

Bambang mengatakan yang terjadi selama ini, warning Bank Dunia sering kali kurang mendapat sambutan atau tanggapan positif dari pelaku dan pengambil keputusan di tiap-tiap negara. Karena memang faktanya sampai sekarang belum atau tidak pernah ada negara yang akhirnya harus bubar karena utang.

Lebih jauh, Bambang mengatakan diakuisisi oleh negara lain karena utang juga belum pernah ada, yang ada adalah bentuk-bentuk imperialisme. Catatan pentingnya, apa pun bentuk dan besaran utangnya, pada titik tertentu akan ketemu masa bahwa utang tersebut harus dibayar.

"Oleh karenanya, yang perlu diingat, di luar jadwal pembayaran utang dan bunga yang sudah ada, jika sedang ada kemampuan anggaran, dapat saja pembayaran lebih dilakukan, tidak membuat utang baru, juga pengawasan penggunaan utangnya," tuturnya.

Seperti diketahui, laporan Bank Dunia yang dirilis belum lama ini menyebutkan tingkat utang meningkat dengan cepat di seluruh dunia, karena negara-negara berpenghasilan rendah melihat beban utang mereka meningkat 12 persen pada tahun 2020 ke rekor 860 miliar dollar AS.

"Itu menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan," kata Presiden Bank Dunia, David Malpass, kepada wartawan.

"Respons fiskal negara-negara terhadap krisis Covid-19 untuk membantu meredam pukulan perlambatan ekonomi dan meningkatnya kebutuhan kesehatan telah membebani anggaran yang menuju ke arah yang salah bahkan sebelum tahun 2020," tutur dia.

Pertemuan tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), di Washington, Oktober lalu, tanpa tanda yang jelas tentang nasib Kepala IMF, Kristalina Georgieva, yang diperangi, karena dewan dana tersebut memperdebatkan apakah dia akan tinggal atau pergi.

"Jika suatu negara memiliki utang yang tidak berkelanjutan, harus ada mekanisme untuk melibatkan sektor swasta. Kerangka kerja umum mendesak itu, tetapi sulit untuk dicapai," ujar Malpass.

Bank Dunia sedang mencoba untuk mendorong citra bisnis seperti biasa, meskipun laporan doing business-nya yang sekarang dibatalkan tetap menjadi pusat skandal.

enjadi pusat skandal.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top