Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Senin, 16 Des 2024, 01:15 WIB

RI Harus Punya Tawar Tinggi agar Bisa Keluar dari “Middle Income Trap”

Pembatik mengecek hasil produksi kain batik di rumah budaya papring Banyuwangi, Jawa Timur, belum lama ini. Pembangunan berkualitas tinggi harus menjadi prioritas,terutama di sektor pedesaan dan UKMK untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan daya saing

Foto: ANTARA/Budi Candra Setya

JAKARTA - Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan penting dalam menentukan arah kebijakan strategisnya di tengah persaingan dua raksasa dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok. Sebagai negara dengan posisi geografis dan ekonomi yang vital di Asia Tenggara, Indonesia perlu memilih dengan cermat agar tidak menjadi sekadar "jembatan yang diinjak" oleh kedua kekuatan ini.

"Kalau kita punya dua kawan yang berlawanan, seperti AS dan Tiongkok, kita bukan kawan sejati bagi keduanya. Akibatnya, kita hanya mendapatkan investasi kecil-kecilan dan tidak sepenuhnya didukung. Indonesia harus memiliki daya tawar yang tinggi dan membuat pilihan yang jelas," ujar Direktur Pusat Studi Islam dan Demokrasi Nazar el Mahfudzi, kepada Koran Jakarta, Minggu (15/12).

Menurut Nazar, Indonesia dapat belajar dari Vietnam dan Singapura dalam menjalin hubungan strategis. Vietnam, yang dulunya berkonflik dengan Amerika Serikat, akhirnya memilih untuk menjadi mitra strategis AS. Keputusan tersebut mendorong relokasi industri dari negara-negara maju ke Vietnam, menjadikannya salah satu perekonomian yang paling pesat berkembang di kawasan Asia Tenggara.

"Singapura juga menunjukkan bagaimana menjadi sekutu strategis AS tanpa memusuhi Tiongkok. Dengan memiliki persenjataan mutakhir seperti pesawat tempur F-35B, Singapura berhasil memanfaatkan aliansinya untuk mencapai kemajuan teknologi dan pertahanan, meskipun 80 persen penduduknya adalah keturunan Tionghoa," jelas Nazar, lulusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Indonesia, lanjutnya, memiliki potensi besar sebagai negara utama di Asia Tenggara. Namun, potensi itu harus diimbangi dengan kemampuan untuk memanfaatkan daya tawarnya demi kepentingan nasional.

“Indonesia harus membuat pilihan.Menjadi kawan sejati AS bisa membawa Indonesia keluar dari middle income trap, seperti yang dialami banyak negara maju lainnya. Namun, pilihan ini harus dilakukan dengan cerdas, tanpa memusuhi Tiongkok. Kita berada di persimpangan jalan, dan inilah saatnya untuk bertindak," pungkas Nazar.

Daya tawar tinggi ini, menurut Nazar, diperlukan agar Indonesia bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) dan menghindari ketertinggalan dari negara-negara lain.

Indonesia harus melihat ke depan, terutama pada perubahan demografi. Pada tahun 2040, jumlah penduduk usia produktif akan menurun drastis. Tanpa kebijakan yang tepat, Indonesia akan menghadapi tantangan besar seperti yang dialami Jepang.

“Dan kini saatnya, Indonesia harus membuat pilihan.Menjadi kawan sejati AS bisa membawa Indonesia keluar dari middle income trap, seperti yang dialami banyak negara maju lainnya. Namun, pilihan ini harus dilakukan dengan cerdas, tanpa memusuhi Tiongkok. Kita berada di persimpangan jalan, dan inilah saatnya untuk bertindak," pungkas Nazar.

Ia menekankan bahwa pembangunan berkualitas tinggi harus menjadi prioritas, terutama di sektor pedesaan dan UKMK (Usaha Kecil Menengah dan Koperasi) untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan daya saing.

Menurut Nazar, kepemimpinan Prabowo Subianto menjadi kunci dalam menentukan arah Indonesia di persimpangan jalan ini. "Dari reformasi 1998, hanya Prabowo yang memahami pentingnya demokrasi yang diimbangi dengan pembangunan berkualitas tinggi. Demokrasi tanpa inovasi dan efisiensi hanya akan membawa stagnasi," tegas Nazar.

Nazar mencontohkan, rencana Presiden AS terpilih, Donald Trump yang menunjuk Elon Musk dan Vivek Ramaswamy untuk memimpin Departemen Efisiensi guna memangkas pemborosan anggaran dinilai akan sangat berperan untuk kemajuan ekonomi AS. Tapi sayangnya Indonesia banyak disibukkan impor, utang yang tidak produktif khususnya pembayaran bunga obligasi rekap BLBI yang dinikmati para pengemplang.

“Kita harus bangun.Rupiah sudah diperdagangkan di atas 16.000 rupiah per dollar AS.Harus diantisipasi, jangan dianggap biasa.Tidak banyak pilihan yang dimiliki negara kita.Bank Indonesia harus menaikkan suku bunga acuan.Sangat tidak masuk akal spread suku bunga di Indonesia dan luar negeri selisihnya tipis.Kalau efisiensi yang dilakukan Trump berhasil, dollar AS akan semakin kuat.Apa pemerintah sudah mengantisipasi hal ini,” katanya.

Harus Konsisten

Peneliti Pusat Riset Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana, Bengkayang, Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut mengatakan, banyak hal yang harus dilakukan agar Indonesia bisa keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah.

Masalahnya bukan bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang tidak bermutu seperti mengandalkan konsumsi dan impor, tetapi juga gelembung properti.Lebih menyakitkan lagi, rakyat banyak terjerat pinjaman online (pinjol) yang bunganya sangat-sangat tinggi dan juga judi online. “Tidak masuk akal kalau hal-hal seperti itu dianggap pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Bank Indonesia harus konsisten.Jika pinjaman online diperbolehkan mengenakan bunga tinggi karena bisnis tersebut berisiko tinggi, ya sama saja dengan suku bungan acuan BI.“Negara kita kan risikonya tinggi, harusnya suku bunga acuan BI juga tinggi dong.Kebijakannya jangan mendua,” katanya.

Senada dengan Nazar, Pakar Hubungan Internasional Universitas Brawijaya (UB), Malang, Adhi Cahya Fahadayna menggaris bawahi perlunya Indonesia memiliki daya tawar yang tinggi. Namun saat ini pemerintah memiliki segudang pekerjaan rumah yang harus diselesaikan terlebih dahulu agar memiliki daya tawar untuk melanjutkan tinggal landas menuju negara maju. Secara populasi, kekuatan baik politik maupun militer serta potensi SDA Indonesia itu besar jika dibandingkan negara-negara Asean lainnya.

“Tapi kenyataanya, dari indikator kesejahteraan, koefisien gini, GDP perkapita, index pembangunan manusia kita jauh tertinggal dengan negara-negara Asean lain seperti Singapura dan Malaysia. Ini karena Indonesia terjebak middle income trap, yaitu kondisi perekonomian tergolong menengah tapi kesulitan untuk menjadi negara dengan kondisi perekonomian maju. Pemerintah selalu main aman, tidak mau mengecawakan banyak pihak,” katanya.

Redaktur: M. Selamet Susanto

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.