Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Retorika Islam Politik

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Ach Fadil

Belakangan, idiom-idiom keislaman seperti takbir, jihad, Allahu Akbar, dan seterusnya kerap mewarnai lanskap politik. Bahkan, publik ramai membicarakan "partai Allah" dan "partai Setan" setelah Amien Rais mengatakannya. Coen Hosain Pontoh dalam pengantar buku Islam Politik: Sebuah Analisis Marxis (2012) karya Deepa Kumar, mengidentifikasi, kemunculanya retorika-retorika seperti ini tak lepas dari menjamurnya aneka gerakan baru Islam yang membawa aspirasi politik Islam setelah 1998.

Mereka inilah yang disebut sebagai Islam politik, kelompok yang dalam banyak praktik menjadikan Islam hanya sebagai tameng perjuangan politik. Dengan retorika-retorika keislaman, mereka bisa melabeli pihak lain sebagai anti-Islam bila menentang aspirasi mereka.

Aspirasi politik kelompok ini pada dasarnya bertolak belakang, bahkan menolak sistem demokrasi. Tetapi belakangan, demi merebut pengaruh, mereka mengubah siasat dengan menggunakan jalur-jalur demokratis untuk menyuarakan aspirasi politik konservatif mereka.

Artinya, agak susah untuk meletakkan maraknya retorika bernuansa agama akhir-akhir ini sebagai sesuatu yang tidak politis. Sedari awal, kemunculan gerakan-gerakan Islam politik sendiri memang sudah berjalin-kelindan dengan yang politis tadi.

Dalam tulisan berjudul "Political Islam and Islamic Parties in Indonesia" di Journal of Democracy tahun 2010, Sunny Tanuwijaya menyatakan bahwa ke depan praktik politik bernuansa agama akan terus mengalami intensifikasi. Meski perolehan suara partai-partai Islam cenderung mengalami degradasi sejak pemilu pertama 1955 (44 persen). Kemudian pada 1999 (36,3) pada pemilu 2004 (41) dan tahun 2009 (29,2).

Sebab-sebabnya, Islam dan politik keislaman masih elemen penting masyarakat mayoritas muslim. Juga karena ada pergeseran praktik politik dari partai nasionalis-sekuler yang juga menjual isu-isu keislaman, di samping partai Islam sendiri. Maka, meski perolehan suara partai politik berbasis Islam cenderung menurun, kampanye ala Islam politik akan terus intensif.

Tidak heran bila hibridasi politik dan Islam-seperti penggunaan retorika, simbol atau atribut keislaman-masih kerap mengalami orkestrasi. Sebab, sebagaimana dikatakan Dadang Kahmad dalam "Sosiologi Agama: Potret dalam Dinamika Konflik, Pluralisme dan Modernitas (2002)," popularitas dan akseptabilitas kandidat dirasa bisa dicapai dengan cara menyentuh sisi emosional umat.

Pelecut

Apalagi, ada kenyataan bahwa pada pemilu tahun 2014, perolehan suara partai Islam sedikit naik mencapai 31,81 persen. Meski angka itu masih di bawah 41 persen (pemilu sebelumnya), kecenderungan ini menjadi pelecut para politikus untuk terus memainkan retorika Islam demi menjadikannya sebagai pengepul suara (vote getter). Benar saja, pada momen Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, cara berpolitik semacam itu mendapat memomentumnya dan berhasil menumbangkan petahana melalui isu penistaan agama.

Ditambah lagi, partai-partai nasionalis-sekuler tak lagi menempatkan ideologinya sebagai pertimbangan utama berkoalisi, tetapi lebih pada pragmatis cara memenangkan pertarungan politik. Faktanya, mereka bisa berkoalisi secara mesra dengan partai berbasis Islam. Kecenderungan inilah yang membuat kualitas partai dan praktik politik negeri ini kurang mapan. Ini berbeda misalnya dengan Inggris atau Amerika Serikat di mana ada garis demarkasi ideologi partai yang tegas.

Di Inggris, Partai Buruh dan Partai Konservatif tak akan mungkin berkoalisi karena perbedaan ideologi. Hal yang sama juga terjadi di Amerika Serikat, di mana Partai Demokrat dan Partai Republik juga mustahil berkoalisi. Dengan begitu, oposisi begitu jelas dan berkualitas.

Selain itu, alasan lain yang memungkinkan retorika primordial bernuansa agama akan terus dimainkan dalam leksikon politik karena menguatnya conservative trend di kalangan generasi milenial. Hasil penelitian dari Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tentang "Literatur Keislaman Generasi Milenial" awal tahun ini menunjukkan kecenderungan itu. Literatur islamisme lebih digandrungi anak-anak muda dibanding literatur Islam yang menyajikan moderasi Islam.

Kategori literatur islamisme yang diteliti: jihadi, tahriri, salafi, tarbawi, dan islamisme populer. Meski para aktivis islamis dianggap gagal menancapkan ideologi jihadi yang bermuara para ekstremisme, pada empat kategori ideologi lain justru sukses mewarnai pikiran generasi milenial. Kecenderungan ini tentu akan menjadi lahan subur politisi untuk tetap memainkan wacana dan isu keislaman di ruang publik menjelang kontestasi politik elektoral tahun ini dan tahun 2019. Apalagi generasi milenial merupakan kantong-kantong suara potensial mereka.

Situasi ini agak mengkhawatirkan karena kalau terus dipupuk dan dibiarkan, Indonesia bukan tidak mungkin akan mengalami seperti Bangladesh terjadi proses islamisasi konservatif. Pada tahun ini, daya pikat politisi islamis sangat kuat di negara yang nota bene didirikan atas dasar sekularisme-sosialis itu. Padahal, konstitusi Bangladesh justru melarang agama ditarik ke dunia politik.

Terkait dengan itu, Ali Riaz menulis artikel "The Politics and Ideology of Islamism in Bangladesh" yang diterbitkan Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East tahun 2003. Riaz menyatakan, menguatnya daya tawar ideologi islamisme dalam lanskap politik Bangladesh karena krisis hegemoni elite yang berkuasa. Akhrinya mengakibatkan kehilangan legitimasi kekuasaan. Juga menguatnya tren kerja sama antara politisi Islam dan politisi sekuler. Politisi sekuler bahkan mengesampingkan politisi dari Partai Sosialis atau Marxis.

Meski krisis hegemoni dan legitimasi tidak ditemukan pada pemerintah yang sedang berkuasa di Indonesia saat ini, di sejumlah momen politik, partai nasionalis-sekuler bermesraan dengan partai Islam. Ini sangat memungkinkan dominasi dan determinasi agama dalam panggung politik arus utama Indonesia. Maka, literasi politik menjadi sangat urgen saat-saat seperti ini. Masyarakat harus didorong agar mampu memiliki kesadaran politik yang memadai. Sehingga mereka bisa membaca perkembangan politik aktual dan tidak mudah dijadikan komoditas oleh para politikus saat perhelatan kontestasi elektoral.


Penulis Lulusan Universitas Paramadina

Komentar

Komentar
()

Top