Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Regulasi OTT Diperlukan untuk Sehatkan Industri Telekomunikasi

Foto : istimewa

Acara Selular Business Forum terkait regulasi OTT ini berlangsung di Jakarta, Rabu (27/12).

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Polemik tentang regulasi terkait layanan over the top (OTT) masih terus berlangsung hingga akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pasalnya Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kominfo hingga kini belum menerbitkan aturan yang jelas terkait layanan over the top (OTT).

Sejumlah pihak seperti perusahaan operator telekomunikasi hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah mendesak pemerintah dalam hal ini Kominfo untuk membuat regulasi layanan OTT. Bahkan DPR tidak hanya mendesak Kominfo tetapi juga Kementerian BUMN untuk segera menerbitkan layanan OTT.

CEO sekaligus Editor in Chief Selular Media Network Uday Rayana mengatakan, ketika OTT khususnya dari negara luar menikmati keuntungan dari masyarakat Indonesia, justru perusahaan operator telekomunikasi negeri ini menderita. Hal ini lantaran mereka dipaksa untuk membangun infrastruktur digital yang cepat dan andal.

"Padahal untuk membangun infrastruktur digital yang mumpuni jelas tidaklah mudah serta tidak murah," ujar dia dalam acara Selular Business Forum terkait regulasi OTT ini berlangsung di Jakarta Selatan hari Rabu (27/12).

Belum lagi beban operator telekomunikasi yang saat ini sangat berat dengan regulatory charge yang besar yang diminta oleh negara. Mereka harus menanggung beban besar tetapi juga dituntut pemerintah untuk menyediakan infrastruktur terkini seperti 5G.

Saat ini, masyarakat Indonesia semakin bergantung terhadap layanan over the top (OTT) asing. Ketika sudah tergantung terhadap layanan OTT asing, banyak masyarakat justru mengeluh mengenai kelambatan akses internet di Indonesia

"Kami berharap pemerintah segera menerbitkan regulasi terkait OTT sebagai solusi untuk turut membantu penyediaan jaringan digital di Indonesia. Selain itu diharapkan pula dapat mengembalikan kesehatan industri seluler," tandas Uday.

Ketimpangan Pendapatan

Dalam keterangannya, Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot menyebut untuk menyehatkan industri seluler memang perlu ada regulasi untuk mengatur OTT. Dia menjelaskan jika saat ini terjadi ketimpangan pendapatan antara perusahaan operator telekomunikasi dengan Perusahaan OTT secara global.

"Dari data SNS Insider, OTT secara global mampu meraup 295,24 miliar AS pada 2021 dan kemungkinan akan tumbuh hingga 1,951 triliun dollar AS pada 2030," ujar Sigit. Selain itu, Sigit juga menjabarkan perbandingan pendapatan telekomunikasi dengan OTT.

Pendapatan operator telekomunikasi pada tahun 2010 memang bisa mencapai 458 miliar dollar AS dari SMS dan voice, sedangkan OTT dulu hanya 41 miliar dollar AS. Tetapi, kini pada 2021 terbalik, perusahaan telekomunikasi hanya mendapat 702 miliar dollar AS sedangkan OTT 753 miliar dollar AS.

"Prediksinya pendapatan OTT akan terus naik ke depannya," sambung Sigit.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi mengatakan saat ini perkembangan bisnis telekomunikasi terdesrupsi oleh perusahaan OTT. Hal ini membuat trafik voice dan SMS perusahaan telekomunikasi seluler mengalami penurunan.

"Perusahaan telekomunikasi hanya seperti penyedia pipa (dumb pipe) dengan capex dan apex yang besar. Sementara OTT berselancar di atas jaringan yang dibangun perusahaan telekomunikasi," kata Heru.

Hal tersebut yang membuat Heru berpendapat bahwa harus ada sumbangsih OTT untuk turut membantu operator telekomunikasi membangun infrastruktur digital. Caranya bisa dengan pajak digital hingga penerimaan negara bukan pajak atau PNBP.

Ia menambahkan Indonesia bisa belajar dari negara lain yang telah menerapkan digital services tax. "Indonesia bisa belajar dengan sejumlah negara yang telah menerapkan digital services tax (DTS) seperti Austria, Prancis, Hungaria, Italia, Polandia, Portugal, Spanyol, Turki dan Inggris, meskipun strukturalnya berbeda-beda," sambung Heru.

Pengamat Telekomunikasi, Kamilov Sagala mengatakan OTT menumpang layanan operator telekomunikasi bahkan bisa mengabaikan kedaulatan negara. "Bahkan Presiden keluar negeri untuk bertemu bos OTT, kalau di operator telekomunikasi cuma sekelas Menteri yang dating," kata Kamilov.

Tentu pemerintah harus segera membuat regulasi terkait OTT karena penting supaya OTT bisa turut mengambil beban universal service obligation (USO), lalu turut membayar biaya yang setara dengan biaya hak penyelenggara (BHP), turut membantu masyarakat yang dimarjinalkan melalui CSR, hingga memperkuat kerjasama dengan operator.

"Bayangkan saja jika OTT mampu membantu membuat infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) maka masyarakat di sana juga bisa mengakses OTT dan pendapatannya juga semakin meningkat," paparnya.


Redaktur : Lili Lestari
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top